BERITA JAKARTA – Maraknya sejumlah Advokat yang mendukung kandidat Capres-Cawapres dalam kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang diikuti 3 pasangan diwarnai berbagai dukungan dari masing-masing kubu.
Dukungan mengalir dari berbagai elemen masyarakat, termasuk Organisasi Profesi Advokat. Akibatnya langkah sejumlah Advokat menuai kritik dari kalangan Organisasi Advokat lainnya.
Sebut saja ada nama Otto Hasibuan, OC Kaligis hingga Hotman Paris Hutapea yang mendukung pasangan kubu Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kemudian, ada pula Advokat beken semisal Ari Yusuf Amir maupun Maqdir Ismail, Henry Yosodiningrat dengan memberi bantuan hukum kepada Anis Baswedan-Muhaimin Iskandar serta Capres Ganjar Pranowo dan Cawapres Mahfud MD.
Menurut pandangan Advokat Alexius Tantrajaya mengatakan, profesi Advokat harus memihak saat membela kliennya, sedangkan profesi Hakim harus independen dan tidak memihak.
“Jadi ngak masalah (Advokat membela Capres dan Cawapres). Sedangkan, bila sudah memegang jabatan dihasil Pilpres, baru harus melepaskan profesi Advokatnya,” kata Alexius, Selasa (26/3/2024).
Sementara, Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), Prof Frans Hendra Winarta mengatakan, sedianya secara etika profesi, Advokat tidak boleh menjadi pejabat Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif.
“Boleh dibilang, sedari dulu Advokat tidak lazim menjadi Pegawai Negeri, Polisi maupun Tentara atau TNI,” jelasnya.
Advokat senior ini mengaku, prihatin dengan kemunduran dan paham demokrasi di Indonesia yang sedang marak di tahun Pemilu 2024.
Frans menilai, Bar Association atau National Bar Association maupun Organisasi Advokat tidak boleh berpolitik, apalagi adanya konflik kepentingan.
“Mereka harus indendepen sebagai free profession. Saya prihatin kalau Advokat berpolitik dan Organisasi Advokat pun ikut berpolitik,” ucapnya.
Sebaliknya Alexius mengatakan, justru kalau seorang Advokat sudah menduduki jabatan di Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, maka yang bersangkutan harus melepaskan status Advokatnya.
Namun ketika Advokat menjadi Penasihat Hukum di Partai politik yang sedang berkampanye di Pemilu, masih belum melanggar Etika Profesi, karena fungsinya hanya sebagai Penasihat Hukum Partai.
“Dan bila menjabat di struktur organisasi politik baru tidak boleh karena melanggar Etika Profesi Advokat. Jadi sepanjang hanya sebagai Penasihat Hukum Partai politik masih pada alur Etika Profesi Advokat,” tutup Alexius. (Sofyan)