KRPI: UU Cipta Kerja Cacat Hukum

- Jurnalis

Rabu, 7 Oktober 2020 - 10:44 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Omnibus Law

Omnibus Law

BERITA JAKARTA – Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI) menolak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Ciptaker). Sehingga, mendesak Presiden Republik Indonesia untuk membatalkan UU Ciptaker. Pasalnya, sewaktu masih Draft RUU, tidak membuka ruang publik dalam penyusunannya.

Sekretaris Jenderal KRPI, Saepul Tavip mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah harus mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), tentang pembatalan pengesahan UU Ciptaker.

“Kami akan mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi, jika Pemerintah memaksakan mengundangkan UU Cipta Kerja,” tegasnya dalam keterangan rilis yang diterima Beritaekspres.com, Rabu (7/10/2020).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dia mengatakan, RUU Cipta Kerja adalah RUU inisiatif Pemerintah. Draft disusun Pemerintah dibawah komando Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto.

Metode yang digunakan Omnibus Law berdampak pada setidaknya 79 UU eksisting dan tambahan substansi terkait pembentukan Lembaga Penjamin Investasi.

“Sejak digagas oleh Menko Perekonomian, RUU ini menuai protes dari berbagai kalangan, termasuk pekerja, karena dianggap tidak membuka ruang publik dalam penyusunan RUU,” kata dia.

“Namun, Pemerintah dan DPR memutuskan melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja dalam forum Panja yang terdiri dari Pemerintah dan Baleg DPR RI,” tambahnya.

Dikatakan dia, penolakan dari berbagai pihak “diredam” dengan janji akan membuka ruang untuk memberi masukan secara terbuka, dalam proses pembahasan.

Beberapa perwakilan masyarakat memang diberi kesempatan, kendati demikian, sulit untuk menyampaikan gagasan.

“Ruang publik yang dijanjikan terindikasi hanya sebagai kamuflase, agar terkesan telah memenuhi Pasal 96 UU No. 12 tahun 2011, yang mengamanatkan adanya pelibatan masyarakat dalam proses pembuatan suatu undang-undang,” bebernya.

Tavip sapaan akrabnya, juga sangat menyesalkan, berbagai usulan masyarakat seperti angin lalu, meskipun argumentasi filosofis, juridis, maupun sosiologis yang disampaikan berbagai pihak jauh lebih kuat.

Karena bernafaskan konstitusi UUD 1945, ketimbang muatan Naskah Akademik dan RUU Cipta Kerja yang dibuat Pemerintah.

Disampaikan dia, saat Paripurna DPR RI, RUU Cipta Kerja disahkan sebagai undang-undang, pada Senin 5 Oktober 2020, ajaibnya terindikasi kuat bahwa sesungguhnya tidak ada draft final yang dibawa ke Paripurna.

Apalagi, hingga, Selasa 6 Oktober 2020 dari Pemerintah maupun DPR RI, tidak menyampaikan kepada publik, soal materi UU Ciptaker yang diputuskan di Paripurna.

“Sama dengan lapisan masyarakat lainnya, KRPI hanya mendapatkan draft yang “katanya” draft final RUU Cipta Kerja dan “katanya” dibagikan ke media oleh salah satu pimpinan Baleg DPR RI,” ujarnya.

“Pertanyaan dasar!. Apakah suatu RUU disahkan sebagai UU tanpa ada draft final?,” sambungnya dengan nada pertanyaan sindiran.

Tavip menambahkan, jika draft yang “katanya” draft final RUU Cipta Kerja dan sudah beredar benar adanya. Pihaknya juga mempertanyakan, klaster ketenagakerjaan yang berisi draft final berbeda dengan keputusan rapat panja RUU Cipta Kerja, pada Minggu 27 September 2020 di Hotel Swissbell Tangerang.

KRPI pun memberikan catatan dengan contoh indikasi “Sabotase” keputusan Panja, terhadap klaster ketenagakerjaan: Pasal 59 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Pasal 66 tentang alih daya (outsourcing). Putusan Panja: Kembali ke UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Katanya” draft final: Syarat PKWT maksimal 3 tahun dihapus dan hanya ada sekali perpanjangan PKWT, outsourcing tanpa batasan, berlaku bagi jenis pekerjaan apapun (core dan non core) yang di UU Nomor 13 Tahun 2003 jelas batasannya.

Bunyi pasal tersebut jelas bernuansa kental semangat fleksibilitas yang memastikan penurunan perlindungan terhadap pekerja, pekerja semakin rentan dilanggar hak-hak normatifnya, seperti upah minimum (termasuk upah lembur) dan jaminan sosial.

Catatan lain bahaya klaster ketenagakerjaan “yang katanya draft final RUU Cipta Kerja” yang selanjutnya disahkan menjadi UU Cipta Kerja terkait:

Pasal 88C tentang pengaturan upah minimum Provinsi menjadi wajib ditetapkan oleh Gubernur, sementara upah minimum Kabupaten dan Kota menjadi dapat ditetapkan Bupati dan Walikota. Frasa dapat berarti tidak wajib lagi sebagaimana diamanatkan dalam UU 13/2003.

KRPI menilai perubahan substansi tersebut berpotensi mereduksi nilai upah, sehingga mengancam penurunan kesejahteraan dan daya beli pekerja.

Pasal 151 dan Pasal 151A tentang prosedur dan mekanisme PHK yang lebih dilonggarkan, serta kompensasi PHK yang direduksi dengan dihilangkannya ketentuan 15 persen uang penggantian hak, dihapuskannya ketentuan tentang alasan dan perhitungan kompensasi PHK di berbagai pasal di UU Nomor 13 Tahun 2003, yang selanjutnya akan diatur di dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Pengaturan ini menunjukkan proses menurunkan tingkat perlindungan pekerja ketika mengalami PHK. Praktek easy hiring, easy firing yang membahayakan keberlangsungan bekerja bai pekerja Indonesia.

Pasal 42 sampai Pasal 49 tentang penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) lebih longgar. Pengaturan ini menunjukkan sikap tidak berpihak pada penciptaan lapangan kerja, bagi rakyat Indonesia dan melemahkan perlindungan terhadap pekerja Indonesia.

Pasal 77 tentang jam kerja lembur yang lebih panjang. Hal ini akan berpotensi buruk terhadap eksploitasi tenaga buruh/pekerja dan kesehatan mereka.

Pasal 46A dan 82 tentang tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan dan Pemerintah. Pengaturan ini juga berpotensi menurunkan imbal hasil JHT buruh atau pekerja saat diatur lebih lanjut dalam PP.

Dengan demikian, draft yang “katanya draft final RUU Cipta Kerja”, yang artinya “katanya telah menjadi UU cipta Kerja” terindikasi kuat cacat hukum, cacat formil dan materil, yang bertentangan dengan UUD 1945 dan TAP MPR XVI/MPR/1998 tentang politik ekonomi dalam rangka demokrasi ekonomi.

Apalagi, tidak berpihak dan tidak melindungi pada Pekerja atau Buruh Indonesia serta tidak menjamin terciptanya lapangan kerja yang layak bagi rakyat Indonesia. (Mul)

Berita Terkait

Aktivis Lingkungan, KEMAH Indonesia Gelar Milad Ke-8 “Potong Tumpeng dan Santunan”
Kunjungan Jaksa Agung Ibarat Orang Tua Menemui Anaknya
Sikap Pimpinan MPR Rencana Amandemen UUD 1945 Setelah Pemilu di Apresiasi
Ribuan Buruh Berbagai Aliansi di Karawang Konvoi Menuju Istana Negara
Uang Nasabah Ludes, LQ Indonesia Law Firm Ungkap Penipuan Skema Ponzi
Tetap Jaga Prokes, Ada 1.626 Kasus Omicron di Indonesia
Menteri BUMN Minta Kejaksaan Usut Dugaan Korupsi Sewa Pesawat
Komnas PA Murka Kasus Kekerasan Seksual 13 Anak di Bangun Purba
Berita ini 1 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 8 Mei 2024 - 12:47 WIB

Keraguan Publik Terhadap Penanganan Korupsi RSUD Tigaraksa

Selasa, 7 Mei 2024 - 18:27 WIB

JPU Tuntut Pidana Selegram Adam Deni Setahun Penjara

Selasa, 7 Mei 2024 - 07:29 WIB

Mangkir Dari Panggilan, Kejari Jakut Ciduk MH Kasus Korupsi Bulog

Selasa, 7 Mei 2024 - 00:49 WIB

Ketua RT Setempat Sebut Wilayahnya Tidak Ada Transaksi Narkoba

Minggu, 5 Mei 2024 - 08:40 WIB

LQ Indonesia Law Firm Berhasil Mendamaikan Sengketa Tanah PIK 2

Jumat, 3 Mei 2024 - 09:59 WIB

Diduga Penjualan Komoditi Dikorup, Mantan Manajer Bisnis Bulog Ditahan

Kamis, 2 Mei 2024 - 18:04 WIB

Alvin Lim: Penetapan Tersangka Panji Gumilang Penuh Kecacatan

Kamis, 2 Mei 2024 - 13:13 WIB

BEM Banten Minta Kasus Korupsi Rp1 Triliun Situ Ranca Gede Ditangani Kejagung

Berita Terbaru

Lokasi Pengerbekan

Berita TNI

Kodim Malang dan Polres Bubarkan Arena Judi Sabung Ayam

Rabu, 8 Mei 2024 - 06:48 WIB