BERITA JAKARTA – Belum dilakukannya eksekusi badan terhadap Robianto Idup terpidana kasus penipuan dan penggelapan oleh pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan selaku eksekutor menimbulkan keraguan soal integritas jaksa.
Dua ahli hukum pidana yakni, Prof Dr. Andre Yosua, SH, MH, MA, Dr. Effendi Saragih SH, MH dan Jamwas, Dr. Amir Yanto, SH, MH mengemukakan, setelah pemanggilan secara patut dilakukan eksekutor tetapi tak digubris terpidananya, eksekutor sudah selayaknya melakukan jemput paksa terhadap terpidana yang tak peduli tahapan-tahapan proses hukum itu.
“Jika pada waktu jemput paksa itu terpidananya tidak ada di tempat atau menghilang maka sudah seharusnya dimasukan ke dalam Daftar Pencarian Orang atau DPO,” kata Dr. Effendi Saragih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Alasan terpidana tengah menempuh upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK), hal itu sama sekali tidak menghalangi pelaksanaan eksekusi.
“Hukuman dijalani saja dulu. Kalau PK dikabulkan atau terpidana dibebaskan, ya dieksekusi atau dikeluarkan lagi dari penjara. Harus seperti itu demi kepastian hukum,” jelas Effendi Saragih yang sehari-harinya mengajar di Universitas Trisaksi Jakarta pada Fakultas Hukum ini.
Pendapat itu hampir sama dengan Prof. Dr. Andre Yosua, setelah eksekutor menerima salinan putusan dari Mahkamah Agung jaksa harus cepat-cepat laksanakan putusan MA yang sudah berkekuatan hukum tetap.
“Jangan ditunda-tunda, selain demi keadilan bagi saksi korban pelaksanaan eksekusi juga demi kepastian hukum,” tegas Prof Andre Yosua.
Jika menunda-tunda atau menelantarkan eksekusi bisa juga diartikan eksekutornya tidak menggubris perintah atau putusan dari Mahkamah Agung.
Terpisah, Jamwas Dr. Amir Yanto mengatakan, jika eksekutor tidak melaksanakan tugasnya JAM terkait (Jampidum) perlu melakukan eksaminasi. Apabila hasil eksaminasi Jampidum menunjukan ada pelanggaran disiplin, maka Jamwas akan menanganinya lagi.
“Setiap putusan yang berkekuatan hukum tetap seharusnya segera dieksekusi,” kata Jamwas pada Kejaksaan Agung, Amir Yanto.
Menunda-nunda tambah Amir Yanto, apalagi sampai terkesan menelantarkan eksekusi mengundang kecurigaan berbagai pihak terhadap eksekutornya.
“Tidak laksanakan tugas secara sengaja, termasuk suatu pelanggaran disiplin. Harusnya itu segera dilakukan eksekusi,” pungkasnya.
Seperti diketahui, terpidana Robianto Idup sempat buron atau DPO dan dirednotice-kan saat kasus penipuan yang dilakukannya terhadap saksi korban, Herman Tandrin dalam tahap penyidikan.
Setelah kembali dari Belanda dan dijebloskan ke dalam tahanan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan membebaskannya. Tetapi di tahap kasasi Mahkamah Agung menganulir putusan PN Jakarta Selatan dan menghukum Robianto Idup 1,5 tahun penjara. (Sofyan)