BERITA JAKARTA – Ketua Majelis Hakim Eko Aryanto enggan menanggapi permintaan Tim Penuntut Umum dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) untuk menerbitkan surat panggilan sidang secara paksa, Senin (6/1/2025).
Surat panggilan yang dimaksud untuk saksi Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Argo Wiyono dan Bayuntoro Wiyono, terkait perkara pidana korupsi dengan terdakwa Rina Pertiwi mantan Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
“Mohon kiranya Majelis Hakim untuk mengeluarkan surat penetapan pemanggilan saksi. Sebab dari tanggal 11 Desember 2024 sampai hari ini, kami sudah menanggil kedua saksi tetapi tidak juga hadir,” terang Penuntut Umum, Nopriyandi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terkait hal itu, Hakim Eko Aryanto berdalih pihaknya tidak mengeluarkan surat pemanggilan paksa lantaran Penuntut Umum adalah pihak yang mempunyai kewajiban untuk menghadirkan para saksi di persidangan.
“Enggak. Saudara saja yang berkewajiban untuk tetap menghadirkan saksi. Tetapi diupayakan tetap manual dulu. Kalau tidak memungkinkan kita pakai zoom meeting,” tutur Hakim Eko Aryanto.
Padahal, kesaksian AKBP Argo Yuwono dan Bayuntoro Wiyono dinilai sangat penting untuk mengungkap aliran dana sebesar Rp9 miliar yang diduga diberikan dari hasil “gugatan palsu” kasus tanah PT. Pertamina di Jalan Pemuda Rawamangun, Jakarta Timur.
Sebagai informasi, penyelidikan kasus itu telah dimulai sejak 20 Desember 2021 melalui penerbitan surat perintah penyelidikan Nomor: Print-3026/M.1/Fd.1/12/2021 yang diteken Kajati DKI DKJ yang saat itu dijabat, Febrie Adriansyah.
“Dari hasil penyelidikan, diperoleh fakta bahwa PT. Pertamina memiliki lahan sekitar 1,6 hektar yang terletak di Jalan Pemuda Rawamangun Kota Administrasi Jakarta Timur,” jelas Ashari.
Lahan tersebut, lanjut dia, dimanfaatkan sebagai Maritime Training Center, Stasiun Pengisian Bahar Bakar Gas (SPBG) dan 20 unit rumah dinas perusahaan yang dipinjam oleh Bappenas.
Kemudian, pada 2014 seseorang bernama OO Binti Medi menggugat perusahaan pelat merah tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Ia mengaku sebagai pemilik tanah seluas 12.230 meter persegi di lokasi tersebut.
Penggugat berdalil memiliki surat tanah yang terdiri dari Verponding Indonesia Nomor: C178, Verponding INdonesia Nomor: C 22, dan Surat Ketetapan Pajak Hasil Bumi Nomor: 28.
Gugatan tersebut kemudian dikabulkan berdasarkan putusan Perdata Nomor: 127/Pdt.G/2014/PN.Jkt Tim jo Nomor: 162/PDT/2016/PT.DKI jo Nomor: 1774 K/PDT/2017 jo Nomor: 792 PK/PDT/2019.
Pengadilan menyatakan tanah yang bersengketa itu merupakan milik penggugat selaku ahli waris atas nama A. Supandi.
“Pengadilan kemudian menghukum PT. Pertamina untuk membayar ganti rugi tanah sebesar Rp244.600.000.000,” ujar dia.
Ashari menjelaskan, setelah putusan itu diketok, terungkap bahwa surat-surat yang dijadikan dasar gugatan oleh OO Binti Medi diduga palsu.
Jaksa pun menduga ada penyalahgunaan wewenang dan perbuatan melawan hukum atau proses penerimaan uang baik dalam sidang perdata maupun pelaksanaan putusan Pengadilan. Hal itu membuat PT. Pertamina mengalami kerugian hingga Rp246,6 miliar.
Sebab, Pertamina tidak pernah melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. Namun, uang milik PT. Pertamina telah disita eksekusi oleh juru sita PN Jakarta Timur melalui PN Jakarta Pusat dari rekening Bank BRI milik PT. Pertamina. Padahal, Pertamina tak pernah memberikan nomor rekening untuk kepentingan sita eksekusi. (Sofyan)