Tim Kuasa Hukum Korban KDRT Merasa Dilecehkan PPA Polres Kota Tangerang

Foto: Kuasa Hukum Agus Budiono Dengan Korban Siti Suwarnih

BERITA BEKASI – Tim Kuasa Hukum korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dari Mahkamah Pusat Keadilan (MPK) yang berkantor di Matland Cibitung, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, merasa dilecehkan penyidik Unit V Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Kota Tangerang, Provinsi Banten.

Kepada Matafakta.com, salah Tim Kuasa Hukum, Agus Budiono mengatakan, penyidik Unit V PPA Polres Kota Tangerang diduga telah memperdaya dan memperalat korban kekerasan dalam rumah tangga Siti Suwarnih untuk berdamai dan mencabut laporan polisi suaminya serta pencabutan Tim Kuasa Hukum dari MPK.

“Hari ini kita terima surat pencabutan Kuasa Hukum melalui pesan whatsapp yakni nomor korban Siti Suwarnih sendiri dan nomor suaminya Tatang Mahpudin. Jadi, keduanya mengirim. Lucunya surat pencabutan Kuasa Hukum tersebut dibuat tanpa tanggal. Kita selaku Kuasa Hukum sudah paham maksudnya,” terang Agus, Kamis (2/1/2023).

Lebih jauh Agus mengatakan, bahwa pihaknya MPK, bukan perkumpulan pengacara baru kemaren sore, tapi sudah cukup berkarat dalam dunia pembelaan hukum. Begitu juga dengan sikap dan prilaku oknum-oknum para Aparat Penegak Hukum (APH) yang tidak memiliki rasa empati dan saling menghargai dengan sesama APH.

“Tanggalnya surat pencabutan itu sengaja dikosongkan untuk mengaburkan duduk persoalan. Karena ketika ada pertemuan secara diam-diam antara korban, suami dan oknum penyidik PPA tanpa memberitahukan atau didampingi Kuasa Hukum, sehingga terjadilah pernyataan korban klien kami Siti Suwarnih mencabut laporan polisi terhadap suaminya,” jelas Agus.

Seharusnya, sambung Agus, sebagai penyidik kepolisian sudah tahu tugas pokok dan tanggungjawab Kuasa Hukum ketika menerima kuasa dari klien adalah untuk mendampingi dan mengurusi segala kepentingan hukum klien, termasuk jika terjadi proses perdamaian haruslah sepengetahuan Kuasa Hukumnya.

“Kami ingatkan ketika terjadi adanya pernyataan pencabutan laporan polisi kami MPK masih sah sebagai Kuasa Hukum. Surat pencabutan kuasa itu baru hari ini kami terima tanpa tanggal. Kami sebelumnya sudah bertemu langsung dengan Siti Suwarnih bahwa LP tersebut, sudah dicabut dan ditandatanganinya Sabtu 28 Januari 2023 tanpa sepengetahuan Tim Kuasa Hukum,” tegas Agus.

Untuk itu, lanjut Agus, pihaknya MPK tetap akan mempersoalkan ini karena penyidik lebih membela terlapor adalah salah seorang pejabat teras di PT. Inoac Polytechno Indonesia (IPI) ketimbang pelapor yang sudah menjadi korban kekerasan hingga mengalami gangguan pendengaran sebelah secara permanen akibat kekerasan suaminya Tatang Mahpudin.

“Korban itu (Siti Suwarnih) dalam kondisi mental yang tidak setabil. Artinya kondisinya dalam keadaan tidak sehat akibat prahara rumah tangganya selama ini bersama terlapor Tatang. Kesaksian dari kakaknya sendiri korban itu sudah beberapa kali diusir suaminya Tatang dari rumahnya,” imbuh Agus.

Kabar inipun, tambah Agus, membuat keluarganya marah besar, karena pihak keluarga menyakini bahwa Siti Suwarni telah kena diperalat suaminya dan dibantu dengan oknum penyidik PPA hanya untuk menghindari jeratan hukum yang awalnya dilaporkan korban sendiri ke polisi yaitu PPA Polres Kota Tangerang.

“Kalau begini ceritanya kasian klien kami diluar sadarnya, karena dalam keadaan psikisnya terganggu. Sebab, klien kami itu sudah memutuskan bercerai dari suaminya. Kakaknya sendiri sempat bilang bahwa itu bagian dari usaha suaminya untuk menghindari jeratan hukum mengingat jabatannya di perusahaan. Jadi Kuasa Hukum kecolongan dan ini tidak dibenarkan,” beber Agus.

Kesaksian Kakak Perempuan Korban Siti Suwarnih

Ketika disambangi Matafakta.com, kakak kandung korban, Fahmi mengungkapkan, sedih melihat keadaan dan kondisi rumah tangga adiknya, Siti Suwarnih dengan Tatang Mahpudin yang selalu mendapatkan kabar kurang baik dan kurang enak didengar.

“Karena setiap ribut sama suaminya dia pasti larinya kerumah. Selama ini saya tidak pernah mau mencampuri urusan rumah tangganya. Baru ini aja mau mencampuri, karena perbuatan suaminya, sudah melewati batas. Adik saya dilempar setrika sampai mengalami gangguan pendengaran sebelah,” jelasnya.

Dia lapor polisi, kata Fahmi, bukan kemauan keluarga, tapi kemauan korban sendiri. Karena sudah menimbulkan akibat gangguan pendengaran sebelah, maka pihak keluarga pun ikut mendukung ketimbang korban terus mengalami penderitaan dalam rumah tangga.

“Anaknya sendiri sudah mau hampir setahun usianya akte kelahiran aja sampai sekarang masih belum punya. Bayangkan itu. Kalau bicara diusir dari rumah adik saya itu udah berkali-kali, makanya jujur saya kecewa dengan penyidik PPA Polres Kota Tangerang yang ikutan memperdaya adik saya bertindak tanpa sepengetahuan Kuasa Hukum,” ucapnya kecewa.

Sebab, lanjut Fahmi, kami sebagai pihak keluarga korban melihat Siti Suwarnih sudah mengalami gangguan psikis mentalnya tergangu. Untuk itu, pihak keluarga memberikan Kuasa Hukum dari Mahkamah Pusat Keadilan (MPK) guna mendampingi adiknya, Siti Suwarnih.

“Sebenarnya kami sudah paham. Adik saya kalau tidak didampingi pikirannya bisa terganggu lagi sama rayuan suaminya. Terlebih lagi suaminya sudah dilaporkan ke polisi otomatis akan berusaha sekuat tenaga untuk berdamai demi jabatan di perusahaannya. Makanya, Kuasa Hukum sengaja dicolong agar target perdamaian bisa berhasil,” bebernya.

Masih kata Fahmi, korban sendiri dirumah sempat mengaku bahwa surat pernyataan pencabutan laporan polisi itu diketikan dia tinggal tandatangan. Ya, mungkin termasuk surat pencabutan Kuasa Hukum. Adiknya, Siti Suwarnih kalau datang kerumah datang tiba-tiba pulang juga tiba-tiba tidak pernah tahu.

“Itulah kondisinya. Makanya jujur saya kecewa dengan penyidik PPA Polres Kota Tangerang yang ikutan memperdaya adik saya karena tidak tahu persis kondisi rumah tangga adik saya. Kuasa Hukum dicolong masa menggelar pertemuan damai diam-diam tanpa sepengetahuan Kuasa Hukum, apa begitu. Intinya kami tidak bisa menerima ini,” ulasnya.

Fahmi menambahkan, kelakuan adiknya Siti Suwarnih belakangan ini semakin aneh, kalau kerumah tidak pernah tidur dalam kamar yang sudah disediakan. Dia lebih memilih tidur didekat pintu masuk rumah tanpa alas. Setelah itu dia foto sendiri entah apa maksudnya.

“Intinya mental adik saya itu sudah terganggu, tapi tidak kelihatan yang model begini pernyataannya mau dijadikan landasan atau dasar pencabutan laporan polisi dan pencabutan Kuasa Hukum. Kacau amat ya, tanpa sepengetahuan Kuasa Hukumnya lagi,” pungkasnya. (Hasrul)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *