BERITA BEKASI – Gelaran lanjutan musyawarah Pemerintah Desa (Pemdes) Lambangsari, Tambun Selatan, dengan para Tokoh, terkait penetapan Wakif dan Nadzir pada sertifkat wakaf Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jati Andan yang sudah jadi, Sabtu Juni 2022 kemarin, rupanya belum dapat meredamkan masalah.
Pasalnya, muncul ahli waris makam yang akan menempuh jalur hukum, terkait terbitnya sertifikat lahan wakaf TPU Jati Andan atas nama pribadi Kepala Desa (Kades), Pipit Haryanti sebagai Wakif yang mewakafkan dan dua nama staffnya yakni, M. Yandi Hermawan dan Andi Setiawan.
Kepada awak media, Kuasa Hukum Ahli Waris Makam, Jonathan W Salisi, SH mengatakan, kenapa polemik tanah wakaf itu naik kepermukaan karena tiba – tiba muncul sertifikat tanah wakaf lahan yang berstatus tanah negara bebas diatasnamakan pribadi Kepala Desa, bukan Desa atau Kepala Desa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Apa kafasitas Pipit Haryanti selaku Kades meminta musyawarah BPD dan para Tokoh mau mensertifikatkan tanah wakaf atas nama pribadinya, bukan Kepala Desa. Ini terdengar aneh jika hal itu diaminkan, karena kita bicara dalam konteks hukum,” tegas Jonathan, Minggu (5/6/2022).
Untuk itu, sambung Jonathan, dirinya selaku penerima Kuasa dari salah satu Ahli Waris Makam, Abu Fitri Mumin, ST akan membawa masalah ini kejalur hukum agar persoalan tanah wakaf Jati Andan yang berlokasi di Kampung Buaran, Desa Lambasari, Tambun Selatan, menjadi terang benderang.
“Ingat, salah satu syarat pembuatan sertifikat itu adalah sporadik penguasaan tanah atau PM1 dan tidak sengketa. Pertanyaan memang siapa yang menguasai tanah? dan penguasaan tanah ini dibuat oleh siapa? dan siapa yang tandatangan? Ini penting,” tegas Jonathan yang juga salah satu Tokoh setempat.
Jika seandainya, sambung Jonathan orang yang membuat adalah Aparat Pemerintah maka dia terkena UU Tindak Pidana Korupsi dan kalau dia orang swasta maka dia terkena Pasal 273 atau 263 KUHP dengan ancaman 12 tahun penjara karena sudah memberikan keterangan yang tidak benar diatas akta autentik.
“Makanya, kalau memang mau sertifikasi harusnya kumpulkan dulu warga atau masyarakat, karena lahan ini ada yang menguasai yaitu masyarakat, bukan Pipit Haryanti secara pribadi. Dalam masalah ini, sebagai Kades, Pipit Haryanti sudah menyalahi kewenangan,” jelasnya.
Apalagi ternyata, lanjut Jonathan, lokasi lahan wakaf tersebut bakal terkena proyek Tol Bekasi, Cawang dan Kampung Melayu (Becakayu) maka disinilah pidananya. Artinya ada tujuan dan maksud dari apa yang sekarang menjadi polemik terkait lahan wakaf Jati Andan Kampung Buaran tersebut.
“Masalah kedua adalah soal pembatalan. Ingat sertifikat itu adalah produk Negara tidak semudah itu dibatalkan, karena harus lewat Pengadilan TUN. Jika BPN bisa langsung membatalkan, maka BPN patut diduga terlibat dalam tanda petik ya, karena masih butuh pedalaman,” pungkasnya.
Sebelumnya, Pakar Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menanggapi polemik tanah wakaf yang terjadi di Desa Lambangsari, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Fickar menyebut hal itu, sama dengan mengambil harta Negara dan bisa dikualifikasikan sebagai perbuatan korupsi.
“Itu kejahatan membuat sertifikat tanah Desa atas namanya sendiri sama dengan mengambil harta negara dan bisa dikualifikasi juga sebagai korupsi. Harus diproses ke penegak hukum, termasuk KPK,” kata Fickar di Jakarta, Jumat 3 Juni 2022 lalu.
Dia menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang (UU) Pemerintahan Daerah, Desa adalah Badan Hukum yang mempunyai hak dan kewajiban, sehingga langsung saja dinamakan Desa, bukan nama pribadi Kepala Desa.
“UU tentang Penerintahan Daerah, Desa adalah subjek hukum mandiri. Artinya Desa bisa mempunyai hak dan kewajiban. Jadi subjek hukum itu Desa, bukan Kepala Desa,” tandasnya.
Sementara itu, Penulis Buku Wakaf Agraria Mohammad Shohibuddin dalam diskusi “Buku Wakaf Agraria” mengatakan, Negara tidak bisa menjadi Wakif secara langsung, tapi Pemerintah bisa memberikan hak atas tanah, baik Lembaga maupun Perorangan.
Shohib juga mengatakan, bahwa Negara tidak memiliki tanah berlandaskan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, hubungan Negara dengan tanah adalah ‘menguasai’. Artinya, Negara bukan pemilik tanah alias super-tuan tanah.
“Namun, ada mekanisme lain Negara dalam memberikan tanah wakaf caranya bisa dengan memberikan hak tanah kepada Badan Wakaf Indonesia melalui mekanisme pemberian HGU untuk kepentingan wakaf agrarian,” tulisnya. (Hasrul)
Sumber: Beritaekspres.com