BERITA JAKARTA – Sidang kasus pembunuhan yang dilakukan terdakwa, Arbaim, Syahrul, Diki Mahfud dan Dedi dengan berkas terpisah, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Rabu (7/4/2021).
Jaksa Penuntut Umum (JPU), Hadi dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI dan Erma Oktora dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara, menghadirkan saksi-saksi yang merupakan karyawan Sugianto (korban).
Saksi Seli, dihadapan Ketua Majelis Hakim, Agus Purwanta menerangkan, peristiwa tersebut berawal dari masalah pajak. Namun, pada saat kejadian, saksi tidak mendengar suara letusan meskipun berada didalam kantor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Saya juga tidak tahu mengenai senjata dan tidak melihat senjata, tapi saya melihat korban berdarah di dada dan kepala,” kata saksi yang bekerja dikantor korban.
Ketika ditanya penasehat hukum terdakwa mengenai nama Nur Lutfi saksi mengaku bahwa, Nur Lutfi adalah karyawan dikator korban sejak berdirinya perusahaan.
Sementara, saksi lainya yang masih merupakan karyawan korban menjelaskan, bahwa dirinya bekerja sejak 2015. Sedangkan, Nur Lutfi bekerja sejak berdirinya perusahaan korban yang memiliki jumlah karyawan sebanyak 4 orang.
“Ruang kerja korban dan Nur Lutfi bersebelahan. Hubungan kerja antara boss dengan Nur Lutfi seperti layaknya boss dengan karyawan secara professional,” jelas Seli.
Didalam persidangan, tim kuasa hukum terdakwa, Dedi minta kepada Majelis Hakim agar dilakukan persidangan secara offline.
“Majelis mohon dipertimbangkan agar persidangan dilakukan secara offline guna mengungkap kebenaran, karena dengan kondisi yang koneksi jaringan yang sering terputus menghambat jalanya persidangan,” ucap Dedi.
Usai persidangan, Fahrozi, salah satu Tim Kuasa Hukum mengakan, pihaknya akan mengungkap kebenaran dan akan membela kliennya yang mana kliennya didakwa turut serta melakukan pembunuhan.
Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), para terdakwa melakukan pembunuh di Ruko Royal Scuard Kelapa Gading, Jalan Pegangsaan pada13 Agustus 2020.
“Pembunuhan ini terjadi atas perintah Nur Lutfi (diadili terpisah) yang sakit hati terhadap korban, lantaran bosnya itu mengancam akan melaporkannya ke polisi setelah diketahui perbuatannya menggelapkan pajak sejak 2015,” terang jaksa.
Terdakwa Nur Luthfi bekerja sejak tahun 2015 sebagai karyawati dibagian keuangan dan bertugas mengurus pajak. Namun perbuatannya tidak semulus yang diingikan perusahaan.
Penyelewengan semua pajak yang dilakukannya tercium oleh bosnya yang meminta pertanggung-jawaban. Bila tidak dilakukan akan dipidanakan.
Ancaman tersebut, membuat terdakwa Nur Luthfi gentar dan menyusun siasat untuk menghabisi nyawa bosnya. Kemudian Nur menghubungi Rosidi untuk mencarikan pembunuh bayaran dengan skenario seolah korban telah melecehkan dirinya dan sering mengajak hubungan suami istri diluar tugasnya.
”Skenario yang dibuatnya membuat Rosidi membantunya dan menawarkan kepada Mahfud, kenalannya. Awalnya, Mahfud menolak dengan alasan sudah bertobat. Namun, Rosidi tetap merayunya,” kata Jaksa.
Akhirnya, Mahfud pun bersedia denggan meminta imbalan bayaran Rp200 juta. Setelah disanggupi, Mahfud lalu menjalani aksinya besama Syahrul. Mereka lalu mengintai dan mengincar keberadaan korban.
Sekitar pukul 12.30 WIB, ketika korban keluar dari kantornya untuk makan siang di rumah, lalu Mahfud langsung menembak korban dari belakang sebanyak lima kali hingga tewas.
Sebelum dieksekusi, Mahfud dan korban sempat berpapasan karena dari hasil rekaman CCTV, Mahfud sempat terjatuh saat hendak berbalik untuk melarikan diri.
Atas perbutan ini para terdakwa telah melanggar Pasal 340 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP pada dakwaan primer dan dakwaan subsider Pasal 338 KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara itu, Iin Windarti istri dari korban berharap pada penegak hukum yang menangani perkara tersebut dapat memberi hukuman setimpal.
“Saya berharap keadilan bagi almarhum suami saya, saya berharap kepada Jaksa dan Hakim agar para terdakwa di hukum seberat-beratnya,” pungkas Iin sambil berlinang air mata. (Dewi)