BERITA JAKARTA – Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kabupaten Cirebon, Huthamrin, SH, MH, menepis dugaan intervensi dalam penentuan Nurhayati sebagai tersangka kasus dugaan korupsi APBDes Tahun Anggaran (TA) 2018, 2019 dan 2020 sebesar Rp800 juta.
Hutamrin menjelaskan, pada 23 November 2021, Jaksa peneliti dan penyidik menggelar perkara (ekspose) soal dugaan kasus korupsi di Desa Citemu.
Kemudian dari hasil ekspose tersebut, Jaksa peneliti menyimpulkan kepada penyidik Polres Cirebon Kota untuk melakukan pendalaman berkas perkara korupsi tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain itu sambung dia, penyidik mempunyai kewenangan untuk menentukan tersangka berdasarkan dua alat bukti permulaan yang cukup.
“Sedangkan kami sebagai Jaksa peneliti Kejari Kabupaten Cirebon hanya meminta kepada penyidik untuk melengkapi berkas perkara,” ucap Huthamrin saat dihubungi Matafakta.com, Minggu (20/2/2022) malam.
Jadi tidak benar, lanjutnya, jika penetapan tersangka berdasarkan atas perintahnya. Ia menyarankan Nurhayati agar melakukan gugatan Praperadilan guna menguji keabsahan hasil penetapannya sebagai tersangka.
“Saran saya, silahkan tempuh jalur Praperadilan untuk menguji hasil penyidikan pihak Polres Cirebon Kota,” tutupnya.
Sementara itu, Kapolres Cirebon Kota, AKBP M. Fahri Siregar menjelaskan Nurhayati ditetapkan sebagai tersangka, karena dianggap telah turut terlibat dalam kasus dugaan korupsi penggunaan APBDes TA 2018, 2019 dan 2020.
“Dugaan korupsi itu dilakukan tersangka Supriyadi hingga menyebabkan kerugian negara sekitar Rp800 juta,” ungkapnya.
Meski sampai saat ini, kata Fahri, pihaknya belum menemukan bukti Nurhayati telah menikmati uang dari hasil dugaan korupsi tersebut.
Nurhayati dianggap melanggar Pasal 66 Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 yang mengatur terkait masalah tata kelola regulasi dan sistem administrasi keuangan.
“Saudari Nurhayati sebagai bendahara keuangan ini seharusnya memberikan uang kepada Kaur atau Kasi pelaksana kegiatan anggaran,” jelasnya.
Namun, uang itu tidak diserahkan kepada Kaur atau Kasi pelaksana kegiatan, namun diserahkan kepada Kepala Desa (Kades) atau kuwu.
Kegiatan ini, tambah Kapolres, sudah berlangsung sebanyak 16 kali atau selama tiga tahun, dari tahun 2018, 2019 dan 2020. Sehingga tindakannya tersebut dapat merugikan keuangan negara.
“Tentunya ini, melanggar Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 KUHP,” pungkas Fahri. (Sofyan)