BERITA JAKARTA – Pakar hukum pidana Universitas Bhayangkara, Dr. Dwi Seno Wijanarko angkat bicara terkait polemik penanganan kasus hukum investasi bodong Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya Inti Cipta yang sudah mentersangkakan Henry Surya sebagai pemilik dengan 2 tersangka lainnya di Bareskrim Mabes Polri.
“Ada yang keliru dengan penerapan homologasi dalam ranah pidana. Ranah pidana merupakan klasifikasi yang berbeda dengan perdata khususnya PKPU. Jika pemberkasan sudah selesai, maka wajib dilimpahkan ke Kejaksaan untuk diteliti,” kata Dwi menanggapi Matafakta.com, Selasa (1/6/2021).
Dikatakan Dwi, banyak pendapat seolah-olah apabila ada homologasi penundaan kewajiban pembayaran utang atau PKPU lalu perkara pidananya bisa berhenti itu adalah hal yang keliru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Pengesahan perdamaian atau homologasi pada PKPU itu hanya baru sebatas janji penjadwalan atau restrukturisasi utang, bukan pemulihan hak-hak korban,” jelasnya.
Penyidik banyak yang tidak paham, hanya paham kata “damai” atau “86”, padahal hak hak korban harus dipenuhi atau dipulihkan dulu baru bisa masuk kategori restoratif justice atau perdamaian dalam arti yang sebenarnya.
Menurut Dwi, frasa “perdamaian” dalam Undang-Undang Kepailitan & PKPU sebaiknya diganti dengan frasa yang lebih tepat merujuk pada arti sebenarnya yaitu restrukturisasi utang atau penjadwalan ulang pembayaran utang.
“Jika frasa “perdamaiaan” tetap digunakan, maka bisa membuat rancu di benak penyidik. Jujur saja penyidik itu banyak yang tidak paham soal PKPU dan semau-maunya menafsirkan sendiri,” ungkapnya.
Selain itu, sambung Dwi, apa hubungannya tersangka mengajukan bukti baru berupa putusan homologasi dengan proses penanganan perkara pidananya?.
“Mungkin saja yang menghubungkan putusan homologasi PKPU dengan proses hukum pidana itu dulunya belajar teori keadilannya berdasarkan Teori Keadilan SH (Soekarno Hatta),” imbuhnya.
Penyidik, lanjut Dwi, harus dapat menerapkan perwujudan hukum yang memenuhi aspek kemanfaatan hukum, kepastian hukum dan keadilan.
Jika penyidik, tambah Dwi, berdalih kemanfaatan hukum dan mekanisme lainnya agar hak para korban dapat diberikan sebagaimana yang diharapkan maka restorative justice yang sebenarnya lah yang bisa diterapkan dengan terpenuhinya hak-hak korban.
“Kalau pertimbangannya kemanfaatan hukum atau mekanisme hukum lainnya ya..penuhi hak-hak korban, bukan dengan perdamaian versi homologasi,” pungkasnya. (Sofyan/Indra)
BeritaEkspres Group