BERITA JAKARTA – Alvin Lim dari LQ Indonesia Lawfirm menanggapi keterangan resmi Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Helmy Santika, terkait kasus invetasi bodong senilai Rp15 Triliun Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya yang menjadikan pemiliknya, Henry Surya tersangka.
Dalam keterangganya, Dirtipideksus Bareskrim Polri, Brigjen Helmy Santika mengatakan, Bareskrim Polri berencana untuk segera melakukan pemberkasan terhadap perkara dugaan penipuan dan penggelapan dana Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya Cipta tersebut.
Dikatakan Bareskrim, bahwa penyidik Bareskrim Polri, tengah berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, PPATK, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga pihak Perbankan terkait untuk membangun konstruksi dalam perkara KSP Indosurya Inti Cipta lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Setelah koordinasi dengan Kejaksaan Agung, PPATK, OJK dan pihak Perbankan untuk melengkapi alat bukti, penyidik akan melakukan pemberkasan terhadap tiga tersangka kasus Indosurya,” terang Alvin mengutif keterangan, Brigjen Helmy Santika, Rabu (26/5/2021) kemarin.
Diungkapkan, Alvin, keterangan dari Bareskrim Polri tersebut jauh dari kepastian hukum dan tidak sejalan dengan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan atau SP2HP Nomor: B/231/III/RES 2.2/2021/Dittipideksus tertanggal 22 Maret 2021 yang diberikan Mabes Polri ke korban investasi bodong sebagai pelapor.
“Pasal 2 di SP2HP berbunyi “bahwa terhadap perkara tersebut telah dilakukan sebagai berikut ayat (d) “melakukan proses pemberkasan perkara terhadap, Henry Surya selaku Ketua KSP Indosurya Inti Cipta. Sementara, keterangan Bareskrim Polri masih akan melakukan pemberkasan,” tegas Alvin.
Alvin menjelaskan, SP2HP dari penyidik, merupakan hak bagi pelapor dalam hal menjamin akuntabilitas dan transparansi penyelidikan maupun penyidikan, penyidik wajib memberikan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan disingkat SP2HP kepada pihak pelapor baik diminta atau tidak diminta secara berkala.
“Pernyataan Bareskrim Polri, Brigjen Helmi di media dengan SP2HP aja berbeda. Dalam keterangan pers masih akan dilakukan pemberkasan. Artinya, selama ini lebih dari satu tahun, pemberkasan belum juga dilakukan. Padahal, pemilik Henry Surya sudah tersangka. Lalu, apakah SP2HP sebelumnya palsu? Ini proses malah jauh mundur lagi,” kesalnya.
Selain itu, sambung Alvin, keterangan Helmi mengenai adanya Putusan Homologasi melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sebagai bukti baru, adalah alasan mengada-ada. Helmi tahu putusan PKPU itu, sudah menjadi konsumsi umum dan dibacakan dalam sidang dari Juli 2020 dan katanya mau periksa ahli terkait putusan PKPU.
“Itu sudah dari Juli 2020 sudah 10 bulan, apakah ahli diperiksa butuh 10 bulan? LQ Indonesia Lawfirm banyak tangani kasus, jika kasus melibatkan orang biasa, 3-5 orang ahli bisa diperiksa dalam waktu 1 hari saja. Tapi kenapa Indosurya 10 bulan dan belum selesai periksa ahli, apakah ahli pidananya dari Hongkong?,” ujar Alvin.
Masih kata Alvin, agar tidak terjadi pembodohan public dia mengingatkan kepada Dittipideksus Mabes Polri akan ketentuan Hukum Formiil atau UU No. 8 Tahun 1981, tentang KUHAP. Urutan proses penyidikan itu adalah pemeriksaan saksi pelapor, saksi fakta lain, saksi terlapor dan saksi ahli kemudian penyitaan barang bukti.
“Setelah proses pemeriksaan dan penyitaan ditemukan 2 alat bukti yang cukup maka, selesailah proses penyidikan dengan ditetapkannya tersangka. Penetapan tersangka ini adalah titik akhir penyidikan. Ini Tipideksus pake kitab hukum acara mana,” sindir Alvin lagi.
“Massa, ditetapkan dulu seseorang menjadi tersangka baru kemudian sibuk periksa saksi, periksa ahli dan alasan mau sita dokumen. Ditambah alasan yang dijadikan penundaan adalah putusan PKPU Juli 2020 sudah setahun lalu?,” tambahnya.
Dengan keterangan Bareskrim Polri ini, tambah Alvin, justru Dittipideksus sangat ceroboh dan melanggar ketentuan KUHAP Pasal 50 jo 110 ayat (1) KUHAP, apabila menetapkan seseorang menjadi tersangka dulu baru mengumpulkan alat bukti.
Brigjen Helmi sebagai Direktur Tipideksus tentunya tahu, baca lagi, Pasal 184 KUHAP tentang 5 alat bukti: surat, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa dan petunjuk. Jadi alat bukti dikumpulkan dulu, baru dengan minimal ada 2 alat bukti ditetapkannya terlapor sebagai tersangka.
“Bukannya sudah ditetapkan tersnagka lalu bilang masih mau periksa saksi dan ahli. Ngawur itu dan diduga pembodohan publik, orang awam tidak mengerti hukum pasti berpikir penyidik bekerja nih, padahal hanyalah pepesan kosong,” bebernya.
Tolong, tambah Alvin, Brigjen Helmi, lihat perkara serupa Koperasi Millenium dengan modus sama persis pengumpulan dana masyarakat tanpa ijin BI atau UU Pidana Perbankan dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) oleh LQ Indonesia Lawfirm Laporkan dan diproses di Polda Metro Jaya (PMJ) dengan professional.
“Dalam 6 bulan pemilik Koperasi Millenium jadi tersangka di Polda Metro Jaya dan langsung ditahan. Hanya dalam waktu 2-3 bulan kemudian berkas perkara rampung dan berkas limpah ke Kejaksaan, total 9 bulan saja sudah beres dari awal LP dibuat,” imbuhnya.
Ceritanya sama, kata Alvin, letika dalam proses pemeriksaan atau lidik dan sidik ditahun 2019 juga sudah ada Putusan PKPU Homologasi ditahun 2016 Nomer Perkara: 136/Pdt.Sus-PKPU/2016/PN Jkt.Pst, tapi perkara tetap limpah dengan cepat, Kejaksaan P21 artinya berkas dinyatakan lengkap untuk disidangkan.
“Pemilik Koperasi Angie Christina di vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan penjara selama 8 tahun. Saya tidak mengada-ada silahkan baca Putusan No.336/ Pid Sus/2020 /PN Jkt Pst,” pungkasnya. (Indra/Mul)