BERITA JAKARTA – Penetapan tersangka Rina Pertiwi mantan Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, memunculkan peristiwa hukum lain yakni soal adanya dugaan perampasan uang senilai Rp63 miliar milik pihak lain oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta.
Pasalnya, pemilik uang sebesar Rp63 miliar itu terungkap diruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, ketika Kuasa Hukum, Amsir Naih, Endit Kuncahyono menjadi saksi atas terdakwa, Ali Sofyan.
Untuk diketahui Amsir Naih merupakan ahli waris tanah SPBG yang tumpang tindih dengan perkara tanah milik PT. Pertamina di Rawamangun, Jakarta Timur yang saat ini tengah ditangani pihak Kejati DKI yang menjadikan, Rina Pertiwi sebagai tersangka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dikatakan Endit, dari pembuktian itu diharapkan akan ada fakta baru yang muncul dipersidangan untuk membongkar motif jahat terdakwa Panitera PN Jakarta Timur, Rina Pertiwi, dalam membantu memperkaya secara illegal terdakwa, Ali Sofyan.
“Hal itu, dilakukan tersangka Rina Pertiwi melalui skema kecurangan dengan mencatut ganti rugi Rp20 juta permeter sebagai kelebihan uang sita eksekusi tanah SPBG seluas 3.150 M2 senilai Rp63 miliar,” ungkapnya.
Dikatakan Endit, modus yang dilakukan dalam kejahatan ini seolah-olah sudah ada persetujuan bersama pihak tanah SPBG milik ahli waris Amsir disatukan pelaksanaan sita eksekusi terhadap dua putusan Peninjauan Kembali (PK) menjadi satu cek BTN Rp244,6 miliar oleh Ketua PN Jakarta Timur.
“Mengingat bahwa dari tanah 12.000 M2 yang dapat dieksekusi Pengadilan seharusnya hanya 9000 M2, karena sebagian luas tanah 3.150 M2 yang dipakai SPBG sudah tidak dapat dieksekusi, karena sudah di sita Amsir Naih lebih dahulu dari tahun 2015,” jelas Endit.
Endit juga mengatakan, permasalahan semakin meruncing karena pihak PT. Pertamina tidak menerima surat girik milik adat dari kedua lahan tersebut. Duet sita pencairan ilegal ini yang menjadi dasar dakwaan gratifikasi Rp1 miliar untuk percepatan proses pencairan uang sita.
“Hal ini menjadi makin bermasalah dimana PT. Pertamina tidak satu pun mendapatkan surat tanah girik milik adat apapun setelah dicairkan Rp244,6 miliar, baik girik tanah SPBG Amsir C 221 dan Girik Tanah RDP Bappenas C 21,” tuturnya.
Karena ternyata, lanjut Endit, tiga girik Verponding Indonesia milik terdakwa Ali Sofyan sudah disita Kejati DKI dan laporan PT. Pertamina soal pemalsuan surat tanah di Bareskrim Satgas Mafia Tanah kabarnya baru akan segera naik tingkat Penyidikan.
“Sejak awal sidang perlawanan sita eksekusi perkara Nomor: 127/2014 pun pihak PT. Pertamina menyatakan konsisten ada tumpang tindih ganti rugi sita eksekusi dengan perkara Nomor: 113/1987 tanah SPBG milik Amsir Naih yang berbatasan dengan tanah rumah Dinas Bapennas, sehingga uang sebesar Rp244,6 miliar yang dicairkan tersebut harus mencakup dua bidang tanah,” ujarnya.
Sedangkan, kata Endit, Penuntut Umum dari Kejati DKI Jakarta dalam surat dakwaannya terhadap Ali Sopyan bersama terdakwa almarhum SW hanya sebatas pemberian suap sebesar Rp1 miliar kepada Panitera PN Jakarta Timur, Rina Pertiwi.
“Suap itu untuk membantu mempercepat proses eksekusi dua putusan PK PT. Pertamina yang tumpang tindih, belum membuka persoalan mens rea kelebihan sita illegal Rp63 miliar yang terbawa masuk dalam cek Rp244,6 miliar,” ulasnya.
Karenanya, tambah Endit, sebagai Kuasa Hukum ahli waris, berharap perlu adanya perintah Majelis Hakim untuk melakukan ukur ulang BPN Jakarta Timur terhadap luas tanah SPBG 3.150 M2 dan rumah Dinas Bappenas 9.000 M2.
“Biar jelas ada pencairan uang illegal Rp63 miliar yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh kedua terdakwa, sehingga dakwaan bisa naik dari Rp1 miliar menjadi minimal Rp63 miliar. Jelas ini aset recovery buat PT. Pertamina,” pungkasnya.
Sementara itu, Asisten Bidang Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati DKI, Syarief Sulaeman Nahdi saat dikonfirmasi berdalih, “Nanti lihat dipersidangan,” ucapnya, Jumat 8 November 2024. (Sofyan)