BERITA JAKARTA – Masyarakat meminta pimpinan KPK mengusut kembali kasus suap Rp3,4 miliar di Pusaran kasus korupsi Jawa Timur ke Tyas Pambudi orang dekatnya, La Nyalla Mattalitti yang diduga ada kaitannya dengan jabatan La Nyalla sebagai Ketua DPD-RI.
Hal itu dikatakan Aktivis Front Memajukan Daerah, Heru Purwoko menyikapi pusaran kasus Korupsi eks Bupati Bangkalan, Jawa Timur, Abdul Latif Amin Imron ke Tyas Pambudi orang dekatnya Ketua DPD-RI.
“Pemerintahan boleh saja berganti, tapi upaya memerangi korupsi tidak akan pernah padam. Berbagai landasan dan instrumen hukum telah dibentuk di Indonesia untuk memberantas tindak pidana korupsi,” terang Heru kepada Matafakta.com, Sabtu (27/7/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dikatakan Heru, pegawai Negeri dan Penyelenggara Negara dengan jelas dalam Undang-Undang (UU) Nomor: 20 Tahun 2001, tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Dalam UU tersebut, keduanya dilarang melakukan korupsi, menerima suap atau gratifikasi dan memeras. Masyarakat juga dilarang memberikan suap kepada Pegawai Negeri dan Penyelenggara Negara. Pelanggaran atas larangan ini terancam hukuman penjara atau denda,” kata Heru.
Untuk itu, para Aktivis dan Masyarakat dari Front Majukan Daerah meminta Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar dan mengusut kembali adanya suap Rp3,4 miliar di pusaran kasus korupsi eks Bupati Bangkalan, Jawa timur ke Tyas Pambudi.
Sesuai fakta persidangan, dari keterangan saksi-saksi terdapat tindak pidana korupsi lain yang belum terungkap oleh KPK diluar kasus yang menjerat eks Bupati Bangkalan, Abdul Latif Amin Imron. Selasa 22 Agustus 2023, Majelis Hakim Tipikor Surabaya, Darwanto, memvonis 9 Tahun Penjara.
“Karena, terdakwa Abdul Latif Amin Imron terbukti bersalah dalam kasus jual beli jabatan dan gratifikasi dilingkungan Pemerintah Kabupaten Bangkalan Jawa Timur,” ungkap Heru.
Dalam kesaksian Sodiq dipersidangan pada Jumat 26 Mei 2023, pada tahun 2021 adanya aliran uang suap yang mengalir ke orang kepercayaan Ketua DPD-RI, La Nyalla Mahmud Mattalitti yaitu Tyas Pambudi sebanyak Rp3,4 miliar.
Keterlibatan Tyas Pambudi yang disebut orang kepercayaan Ketua DPD-RI dalam hal ini, karena Tyas menerima setoran uang dari Sodiq sebanyak Rp3,4 miliar secara bertahap. Sodiq bercerita kepada Jaksa bahwa dia dikenalkan terdakwa Abdul Latif Amin Imron dengan Tyas.
“Awalnya tahun 2021 saya dikenalkan oleh Ralatif dengan Saudara Tyas di Pendopo Pemkab Bangkalan Madura Jawa Timur, pertamanya diperkenalkan terus selanjutnya biar langsung saja. Terdakwa bilang kalau Tyas ini orangnya Ketua DPD LaNyalla,” tutur Heru.
Saat itu, kata dia, Tyas ini menawarkan ada program anggaran Pemerintah Pusat yang siap digelontorkan ke Kabupaten Bangkalan. Nilai anggaran yang disampaikan Tyas kepada Sodiq Rp17 miliar untuk proyek SPAM yang kemudian bertambah menjadi Rp79 miliar.
Dalam persidangann, Sodiq mengakui telah memberikan uang beberapa kali kepada Tyas Pambudi pertama Rp500 juta lalu berikutnya Rp1,4 miliar dan terakhir Rp1,5 miliar kepada Tyas yang di total keseluruhan pemberian sebesar Rp3,4 miliar.
Saat Jaksa Penuntut Umum KPK, Ricky BM menanyakan kepada Tyas Pambudi bagaimana saksi bisa menawarkan proyek SPAM dan peningkatan jalan kepada eks Bupati Bangkalan, Tyas menjawab kalau La Nyalla (Ketua DPD-RI) yang mengenalkannya ke Abdul Latif Amin Imron melalui nomor ponsel.
Setelah beberapa kali pertemuan, kata Tyas, Abdul Latif Amin Imron bersama Taufan Zairinsyah, Ishak Sudibyo dan Eko Setiawan menyerahkan proposal ke La Nyalla di Jakarta pada 2021.
“Dalam fakta persidangan juga terkuak bahwa ada pengembalian uang ke rekening KPK sebesar Rp3,4 miliar sama persis dengan yang di sebutkan oleh saksi Sodiq adanya aliran suap sebesar Rp3,4 miliar ke orang kepercayaan La Nyalla,” ujar Heru.
Front Majukan Daerah, tambah Heru, mencurigai adanya pengembalian uang sebesar Rp3,4 miliar ini modus untuk menutupi adanya keterlibatan Penyelenggara Negara lainnya.
“Pengembalikan uang suap oleh penerima suap, baik yang sudah diproses oleh hukum maupun yang belum, pada dasarnya tidak dapat menjadi alasan penghapus pidana. Dengan kata lain, mengembalikan uang suap tidak dapat dijadikan dasar bagi pelaku untuk terlepas dari jerat hukum,” pungkas Heru. (Sofyan)