BERITA JAKARTA – Dugaan permainan mafia hukum dalam proses hukum di Kepolisian dan Kejaksaan masih marak terjadi.
Harapan masyarakat pencari keadilan dan para korban ketidakadilan di Republik Indonesia masih sering terhempas oleh ulah para oknum Aparat Penegak Hukum (APH) di Kepolisian maupun Kejaksaan.
Seperti yang dialami seorang Ibu bernama Katarina Bonggo Warsito alias Katarina BW yang sudah memasuki tahun ke-5 sejak peristiwa dugaan penipuan dan pemalsuan yang dialaminya dilaporkan ke Aparat Kepolisian namun tak kunjung mendapat keadilan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Katarina BW menyebut, ada oknum biksu perempuan atau biksuni dan keluarga besarnya yang diduga kuat bermain praktik mafia hukum yang melibatkan oknum Kepolisian dan Kejaksaan.
Buntutnya, kasus tindak pidana menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik sebagaimana Pasal 266 KUHP yang terjadi tahun 2017 di Jakarta Utara, mengalami jalan panjang dan berlit-belit.
“Setelah memasuki 5 tahun laporan saya ini, kasus ini sudah menetapkan 3 tersangka. Salah seorang tersangkanya adalah Biksuni berinisial E,” kata Katarina kepada wartawan di bilangan Jakarta Pusat, Minggu (31/3/2024).
Dari penelusuran wartawan, Biksuni E, menjadi rohaniawan di salah satu Vihara di Pantai Indah Kapuk (PIK) Jakarta.
Namun, dalam data Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia, E yang memiliki Kartu Rohaniawan dengan Nomor Registrasi : 119719781230202005 (tahun 2021) terdapat keanehan.
Sebab, tidak ada foto diri rohaniawan di kartunya dan Dirjen yang menandatangani adalah Dirjen 2022. Waktu dikonfirmasi, disebutkan bahwa program sedang eror. Entah permainan tingkat apalagi yang mereka lakukan.
“Para tersangka, termasuk Biksuni E tidak pernah dilakukan penahanan. Status terakhir hanya tahanan kota yang artinya masih bebas saja berkeliaran, dan tidak dilakukan proses hukum semestinya,” tutur Katarina.
Katarina menjelaskan, awalnya, dirinya menikah dengan seseorang pria bernama AM (Alexander Muwirto-Red) pada tahun 2008 silam. Mereka menikah secara agama Budha.
AM memiliki orang tua bernama AJ dan berdomisili Jakarta Utara. Selain AM, AJ masih memiliki dua anak perempuan lagi, yakni EJ yang tinggal di Australia dan E yang merupakan Biksuni di Vihara di daerah PIK.
Nasib kurang beruntung dialami Katarina dan suaminya AM. Keluarga baru itu tidak dikaruniai keturunan, malah AM terus-terusan terlibat pada dugaan penggunaan judi dan narkoba.
“Akhirnya, kami bercerai pada sekitar 2 tahun berikutnya,” ujar Katarina.
Setelah perceraian, korban pergi ke luar negeri untuk menenangkan diri selama 1 tahun lebih. Dan kembali ke Jakarta, setelah AM kembali berulah dengan membawa kabur cek kontan.
Dalam perjalanan tersebut tahun 2016, Ibu mertua yakni Ibunya AM meninggal dunia. 8 bulan kemudian AM pun ikut meninggal dunia yang katanya jatuh di kamar mandi.
Setelah meninggal, mulailah permainan dari keluarga almarhum AM untuk mengambil alih semua harta dengan cara memalsukan KTP dan membuat akte keterangan hak waris dan akte pernyataan waris yang menyebutkan AM tidak pernah terikat perkawinan yang sah seumur hidupnya.
Dikarenakan selalu dipersulit dan bahkan dituduh melakukan pernikahan yang tidak sah, maupun berbagai dugaan pemalsuan yang sengaja dilakukan untuk menjegal Katarina, akhirnya Katarina pun membawa persoalan ini ke proses hukum dengan membuat laporan ke Polda Metro Jaya pada 28 Mei 2021.
Nah, sejak saat itu, menurut Katarina, pihak keluarga mertuanya, yakni AJ, EJ yang tinggal di Australia dan E yang merupakan Biksuni di Vihara PIK, terus-terusan melakukan upaya dugaan mafia hukum, agar kasus yang dilaporkan korban itu tidak diproses.
“Dari mulai proses Lid, Dik, hingga P-21, sangat lama dan bertele-tele,” ungkap Katarina.
Bahkan, menurut Katarina, dirinya sebagai pelapor selalu mendapat dugaan ancaman, intimidasi dari pihak Vihara bahkan informasi menghabisi nyawanya. Pihak yang mengintimidasi tersebut akhirnya meninggal dunia, terjun dari Apartemen tanpa ada yang tahu sebabnya.
Selain itu, berbagai dagelan proses hukum selalu dipertontonkan oleh oknum aparat, seperti oknum penyidik bersama oknum Jaksa, untuk menghentikan Katarina untuk memperoleh hak dan keadilannya.
“Anda harus mendatangkan ahli perkawinan yang tidak ada hubungan dengan Pasal 266 KUHP. Alasannya jika itu tidak ada, maka tidak akan ada tersangka. Itu yang disampaikan Kanit Jatanras Unit 2 Polda Metro Jaya saat itu,” beber Katarina.
“Hal itu juga yang terjadi di Kejaksaan Tinggi DKI, bahwa meminta keterangan ahli agama Buddha dari Bimas Kementerian Agama, tentang harta gono gini dalam agama Buddha, sangatlah tidak relevan dengan Pasal 266 KUHP,” tambah korban.
Katarina juga mengakui, ada semacam tekanan yang dialaminya dari oknum penyidik yang meminta uang hingga Rp100-an juta agar kasus itu bisa segera dinaikkan ke lidik untuk penetapan tersangka dan sampai menawarkan Rp600 juta rupiah untuk mencabut perkara di cyber dan Kamneg.
Advokat Sugeng Teguh Santoso Kuasa Hukum Katarina
Sementara itu, Advokat Sugeng Teguh Santoso yang merupakan Ketua Indonesia Police Watch (IPW) yang mengadvokasi dan mendampingi Katarina menyebut, ada sejumlah kejanggalan dan dugaan permainan proses hukum yang dialami Katarina.
Hal itu dibuktikan dengan laporan di Propam Polri yang memroses dan menyidangkan sejumlah oknum penyidik yang menangani kasus ini. Termasuk dalam proses penahanan para tersangka yang ternyata tidak pernah dilakukan oleh penyidik.
Oleh karena itu, IPW meminta Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Karyoto untuk mengawasi kinerja bawahannya terkait kasus pidana dugaan membuat keterangan palsu dalam surat autentik yang dilaporkan Katarina dengan tiga tersangka.
IPW menyatakan bahwa Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya mesti menuntaskan perkara pidana ini dengan tersangka AJ, EJ dan E.
“Bahkan untuk tersangka EJ yang berada di luar negeri, pihak kepolisian harus mengeluarkan daftar pencarian orang (DPO),” ujar Sugeng.
EJ telah ditetapkan sebagai tersangka melalui pemberitahuan penetapan tersangka bersama E bernomor: B/18495/XI/RES.1.9/2023/Ditreskrimum tertanggal 10 November 2023.
Sementara pemberitahuan penetapan tersangka AJ melalui surat ke Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta pada 9 Juni 2023 dengan nomor surat: B/8095/VI/RES.1.9/2023/Ditreskrimum.
Sementara, korban Katarina melaporkan ke SPKT Polda Metro Jaya dengan laporan polisi Nomor: LP/2750/V/YAN.2.5./2021/SPKT PMJ tanggal 28 Mei 2021 sebagaimana Pasal 263 KUHP, Pasal 266 KUHP, Pasal 385 KUHP dan Pasal 372 KUHP.
Penyidik Polda Metro Jaya menerapkan Pasal 266 KUHP, yakni menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam akta autentik telah cukup bukti dan telah ditetapkan tersangkanya.
Atas tindakan tersangka AJ, E dan EJ terhadap hak milik ruko serta hasil usaha dari toko yang berada di Lindeteves Trade Centre Blok GF-2/B1-20 Jalan Hayam Wuruk Jakarta, korban telah dirugikan.
“Pada kasus ini, diduga adanya ketidaknetralan dan ketidakprofesionalan penyidik dalam menangani perkara tersebut. Ini dikarenakan pertama, penyidik telah melakukan kebohongan terhadap pihak Kejaksaan yang menyatakan bahwa AJ telah ditahan padahal pihak Kepolisian tidak pernah menahannya,” tutur Sugeng.
Hal itu diketahui ketika pihak Ditreskrimum Polda Metro Jaya mengirimkan berkas perkara untuk kedua kalinya dari tersangka AJ ke Kajati DKI Jakarta bernomor: R/3688/VIII/RES 1.9/2023/Ditreskrimum yang ditandatangani AKBP Imam Yulisdianto pada 28 Agustus 2023.
Di surat itu, dengan tegas disebutkan kalau tersangka DITAHAN di Rutan Polda Metro Jaya. Kedua, keluarnya keputusan Kapolda Metro Jaya bernomor: Kep/17/I/2024 tanggal 19 Januari 2024 perihal Pembentukan Komisi Kode Etik Profesi Polri terhadap Iptu Bambang Sri Hartoyo, penyidik dari perkara tersebut yang melakukan penyalahgunaan wewenang.
Dalam proses pemeriksaan sebagai saksi sidang etik tersebut, korban meminta agar terhadap terperiksa Iptu Bambang Sri Hartoyo diberikan keringanan hukuman dengan alasan terperiksa hanya pelaksana perintah atasannya.
Karena itu, saksi korban meminta pada Kapolda Metro Jaya memeriksa dugaan pelanggaran etik atasan Iptu Bambang Sri Hartoyo. Karena korban merasa melaporkan 2 akte otentik tapi kenapa yang naik perkara cuma 1 akta otentik. Apa karena ingin melindungi saksi- saksi yang notabene adalah keluarga dari para tersangka.
Padahal, penyalahgunaan wewenang dari penyidik tersebut telah juga dilaporkan ke Kadivpropam Polri oleh korban melalui Surat Penerimaan Surat Pengaduan Propam Nomor: SPSP2/005556/X/2023/BAGYANDUAN tanggal 23 Oktober 2023.
Perihal dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Kanit 2 Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya dan Penyidiknya dalam menangani Laporan Polisi Nomor: LP/2750/V/YAN.2.5./2021/SPKT PMJ tanggal 28 Mei 2021 sampai sekarang tidak dilanjuti.
Karena itu, IPW mengimbau agar Kapolda Metro Jaya untuk mengawasi kinerja bawahannya untuk dapat segera menuntaskan perkara ini sesuai dengan Perkap 2 Tahun 2022 tentang Pengawasan Melekat di Lingkungan Polri.
Sugeng Teguh Santoso menambahkan, kasus ini saat ini sudah mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakarta Utara).
“Sidang kedua, dijadwalkan pada Selasa 2 April 2024, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Kiranya keadilan dan hak-hak para pencari keadilan dipenuhi,” tandasnya. (Sofyan)