BERITA JAKARTA – Finny Fong patut kecewa dengan putusan banding wanprestasi (ingkar janji) antara PT. Indotruck Utama sebagai pembanding dan Arwan Koty sebagai terbanding yang di bacakan Majelis Hakim pimpinan, Dr. Artha Theresia, SH, MH di Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, Jumat (27/8/2021) kemarin.
Diungkapkan Finny, saat persidangan pemeriksaan berkas tidak digelar secara transparan, melainkan langsung pembacaan putusan. Padahal, secara lisan disampaikan bagian Hubungan Masyarakat (Humas) PT DKI Jakarta akan mengundang kehadiran terbanding dan pembanding dalam perkara Nomor: 264/Pdt/2021/PT DKI.
Sehingga, wanita paruh baya yang tak lain merupakan istri terbanding, Arwan Koty histeris dan terjatuh hingga pingsan karena merasa sangat kecewa. Finny Fong hadir di persidangan bersama suaminya sebagai terbanding dalam sidang putusan banding dengan didampingi, Aristoteles. MJ Siahaan, SH selaku kuasa hukum, Arwan Koty.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami sangat kecewa dengan kinerja PT DKI Jakarta yang tidak gelar sidang pemeriksaan berkas secara transparan, langsung pembacaan putusan. Padahal, secara lisan sudah disampaikan bagian Humas akan mengundang kehadiran terbanding dan pembanding pada saat sidang,” ujarnya Finny dengan nada penuh kecewa.
Finny kembali mengulas, bahwa dalam memeriksa dan mengadili berkas perkara wanprestasi itu, Majelis Hakim yang mengadili perkara banding tersebut diduga tidak transparan, sehingga netralitasnya patut dipertanyakan. Majelis Hakim, telah mengabaikan kontra memori banding milik terbanding.
“Majelis Hakim, Dr. Artha Theresia hanya mengetuk palu satu kali dan belum sempat membacakan amar atau isi dari putusan tersebut, tapi sudah pergi meninggalkan ruang persidangan,” ungkapnya.
Sementara itu, Aristoteles. MJ Siahaan selaku Kuasa Hukum Arwan Koty mengatakan, putusan ini adalah bisa dikatakan penemuan hukum yang sangat negatif. Mungkin inilah satu-satunya hakim yang memutus perkara wanprestasi dengan menggunakan prestasi orang lain.
Dikatakan Aris sapaan akrabnya mengatakan, dalam putusan Majelis Hakim memakai putusan lain, didalam wanprestasi ini tidak boleh menggunakan putusan lain, bahkan melawan hukum kalau digunakan, itulah wanprestasi dan bagaimana sakralnya sebuah perjanjian.
“Ada 2 unit eskavator kata Majelis dalam pertimbangannya. Sementara dalam perkara 181 itu hanya 1 unit eskavator yang kami sengketakan. Bukti putusannya ada. Kan,penggugat yang punya acara, siapa yang mendalilkan dia yang membuktikan. Kami mendalilkan 1 unit, kok malah menjadi 2 unit, sebenarnya siapa yang menggugat sih?,” sindirnya.
Menurut Aris, penemuan hukum yang diutarakan pimpinan Majelis Hakim Arta Theresia dalam putusannya, sangat kurang tepat mengenai isi perjanjian.
“Boleh ditanya kepada ahli perjanjian atau ahli perdata ya, yang mengatakan bahwa perjanjian itu boleh dipenuhi oleh orang lain, harus pihak yang ada didalam perjanjian itu, seandainya pun ada, itu harus ada perjanjian tambahan,” ucap Aris.
Dijelaskannya, mengenai kesaksian Soleh Nurcahyo, menurut Aris merupakan orang yang ditunjuk oleh kliennya untuk mengangkut barang. Fakta persidangan di PN Jakarta Utara mengatakan, tidak ada penunjukan, tidak surat kuasa dari Arwan Koty dan tertuang juga dalam pertimbangan hakim dalam putusan wanprestasi No. 181/Pdt G/2020/PN Jakarta Utara.
“Dalam perjanjian 157 itu, tidak ada yang namanya Soleh dan tiba-tiba ditimbulkan orang yang namanya Soleh dan kalau ditunjuk harus memiliki surat kuasa,” pungkas Aris. (Sofyan)