BERITA BEKASI – Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait menanggapi terkait adanya dugaan penganiayaan terhadap terduga anak dalam menggali keterangan yang dilakukan penyidik, terlebih jika benar terduga adalah anak korban salah tangkap.
“Didalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak dan UU Perlindungan Anak, bahkan semangat dari Konvensi PBB tidak membenarkan jika ada penyiksaan apa lagi dengan pemaksaan dan sebagainya terhadap anak,” kata Arist.
Ditegaskan Arist, bahwa jika benar ditemukan atau terbukti di Pengadilan hal tersebut terjadi, maka anak-anak tersebut wajib bebas murni dari segala tuntutan dan pelakunya dapat dihukum sesuai hukum yang berlaku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kalau hal ini benar, tambah Arist, terjadi adanya penyiksaan atau penganiayaan maka putusan Pengadilan batal demi hukum. Apalagi, jika itu bisa dibuktikan dipersidangan, maka anak tersebut bisa bebas secara murni dan pelakunya harus di hukum.
“Komnas PA mengutuk keras adanya tindakan pemaksaan bahkan penyiksaan terhadap anak, karena hal itu tidak dibenarkan,” tandasnya.
Sementara itu, kuasa hukum korban AMM (17), Edi Utama kembali mengatakan, bahwa kliennya merupakan korban salah tangkap yang tidak ada keterkaitannya dengan peristiwa pembegalan yang terjadi di Jalan Perjuangan Teluk Pucung Kota Bekasi, beberapa waktu lalu.
“AMM cukup menderita. Mulai dari saat penangkapan, penahanan terlebih AMM masih anak-anak yang perkaranya di vonis Hakim Pengadilan Negeri Kota Bekasi selama 10 tahun penjara. AMM harus mendekam sebegitu lamanya di dalam tahanan,” kata Edi kepada Matafakta.com, Selasa (16/2/2021).
Edi pun, tidak terima atas perlakuan yang dilakukan oknum aparatur negara yang bertindak sewenang-wenang. AMM, tak terbukti secara sah dan meyakinkan (reasonable doubt) melakukan pembegalan dengan hanya berdasarkan bukti-bukti yang tidak berkualitas.
“Dalam putusan Pengadilan Negeri (PN) Kota Bekasi Nomor 2/Pid.Sus-Anak/2021/PN.Bks, akhirnya kami melakukan banding teregister Nomor 50/PID/2014/PT Bandung, Jawa Barat,” jelas Edi.
Sebagai penasehat Hukum, Edi menyatakan bahwa Pengadilan Negeri (PN) Kota Bekasi dalam perkara yang dihadapi AMM, telah melakukan peradilan sesat terhadap kliennya.
“Hakim dengan mudah mengabaikan begitu saja, keterangan lima saksi meringankan (adecharge) untuk AMM. Padahal kelima saksi kunci itulah dibawah sumpah menyatakan bahwa AMM bersama mereka pada saat kejadian dimalam pembegalan itu,” jelas Edi lagi.
Selain itu, alat bukti yang di hadirkan dalam persidangan, hanya dua bilah clurit dan kendaraan roda dua yang menurut keterangan polisi, itu yang di pake oleh para terdakwa saat beraksi. Sementara CCTV tidak di hadirkan di persidangan.
Menurut Edi, tuduhan dalam Pasal 365 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dapat di buktikan secara sah dan meyakinkan, jika AMM seorang pelaku. Dan pada 27 Januari 2021 di Pengadilan Negeri Kota Bekasi AMM pun divonis 10 tahun penjara.
“Semua saksi dan alat bukti yang ada, tidak ada satu pun yang menguatkan dan mengarah kepada kebenaran bahwa AMM sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan yang berakibat hilangnya nyawa orang lain,” ujarnya.
Selain kekuatan saksi, tidak ditemukannya alat bukti pembunuhan yang dilakukan AMM sebagai pelaku, sebaiknya hal itu dapat menjadi pertimbangan bagi Majelis Hakim untuk mengambil putusan dan membebaskan AMM.
Putusan ini, menurut Edi, dugaan keras terjadinya pelanggaran hak Asasi Manusia (HAM) terhadap terdakwa AMM oleh oknum polisi. Dugaan pelanggaran HAM itu berupa penganiayaan untuk memperoleh pengakuan, juga pelanggaran hukum acara pidana.
“Bagaimana mungkin seseorang yang tidak melakukan kejahatan bisa mengaku bersalah, jika ia dihadapkan pada kengerian dan rasa takut terhadap tindakan yang mengancam nyawanya? oknum polisi harus bertanggungjawab dalam kasus ini,” pungkasnya. (Edo)