BERITA JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) seharusnya segera memerintahkan Jaksa Agung untuk melimpahkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kasus pembunuhan yang diduga melibatkan Novel Baswedan ke Pengadilan Negeri (PN) Bengkulu. Hal tersebut, dikatakan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane.
“Jika BAP perkara itu tidak segera dilimpahkan, IPW khawatir muncul opini di masyarakat bahwa Presiden Jokowi sesungguhnya takut pada Novel karena banyak tahu tentang ‘boroknya’ selama berkuasa, sehingga merasa tersandera,” kata Neta kepada Matafakta.com, Kamis (18/6/2020).
Dikatakan Neta, untuk menghindari opini negatif ini, Jokowi harusnya segera memerintah Jaksa Agung segera melimpahkan BAP tersebut. Apalagi perkara itu, sudah tercatat di PN Bengkulu dengan Nomor perkara 31/Pid.B/2016/PN.Bgl.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Jika segera memerintahkan BAP itu dilimpahkan ke Pengadilan Jokowi sangat pantas mendapat gelar Bapak Kepastian Penegakan Hukum di Negeri ini,” ujarnya.
Menurutnya, jika kasus pembunuhan yang diduga melibatkan Novel tidak dituntaskan di Pengadilan, kepastian hukum di Negeri ini, makin acak kadut. Sebab, keberadaan Novel Baswedan sebagai tersangka pembunuhan yang masih bisa bercokol di KPK dan tetap memeriksa tersangka korupsi adalah sebuah kelucuan hukum yang luar biasa di dunia.
“Lucunya lagi, Dewan Etik dan Dewan Pengawas KPK membiarkan kelucuan ini terus terjadi, sepertinya Dewan Pengawas KPK memiliki selera humor yang sangat luar biasa lucunya, ada tersangka dibiarkan memeriksa tersangka. Kepastian hukum di Negeri ini makin tak jelas wujudnya,” ungkapnya.
IPW menilai, kelucuan yang dimunculkan dalam kasus Novel membuat tuntutan hukum KPK terhadap para koruptor pun menjadi aneh dan tidak memiliki etika dan dasar hukum yang jelas, karena tersangka pembunuhan memeriksa tersangka Korupsi.
“Aneh, karena pembiaran tersangka pembunuhan memeriksa tersangka korupsi sangatlah melukai perasaan keadilan hukum, utamanya keadilan bagi korban pembunuhan yang diduga dilakukan Novel maupun keluarganya dimana setelah diduga membunuh anggota keluarganya, mereka tetap melihat Novel petantang – petenteng memeriksa tersangka korupsi di KPK,” sindir Neta.
Selain itu, tuntutan hukum 1 tahun penjara yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap dua orang terdakwa, Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis, yang menyiram wajah Novel tentunya membuat rasa keadilan keluarga korban pembunuhan di Bengkulu itu terluka parah.
“Keadilan yang diperoleh Novel tentu sangat melukai rasa keadilan hukum, utamanya rasa keadilan hukum bagi korban dan keluarganya, yang merasa diperlakukan tidak adil dimana anggota keluarganya sudah dibunuh yang diduga dilakukan oleh Novel. Disitu keanehannya adalah keadilan hanya milik Novel dan tidak untuk korban pembunuhan yang diduga dilakukan oleh Novel,” ulasnya.
IPW menyimpulkan, bahwa proses hukum kasus penyiraman Novel yang berjalan saat ini sangat adil. Tapi tidak berjalannya proses hukum dalam kasus pembunuhan yang diduga dilakukan Novel telah menodai penegakan hukum di negeri ini.
Sebab sambung Neta, masyarakat melihat bahwa seseorang yang melakukan kejahatan yang luar biasa, yakni membunuh, tapi tidak bisa tersentuh hukum sama sekali, malah bisa petantang – petenteng menjadi penyidik di KPK. Ini jelas membahayakan penegakan hukum. Jika Novel masih menjadi seorang anggota polisi, Propam Polri tentu sudah bertindak tegas “mengkandangkannya”.
Tapi tambah Neta, Novel sudah keluar dari polisi dan para elit KPK tidak berani menyentuhnya, bahkan Dewan Pengawas KPK seakan pura pura tidak tahu dengan kasus yang membelit Novel, sehingga Novel pun seakan menjadi orang paling kuat di negeri ini dan orang yang tidak bisa tersentuh hukum.
“Ini jelas membahayakan proses hukum di Negeri ini. Untuk itu Jokowi harus segera memerintahkan Jaksa Agung melimpahkan BAP kasus Novel ke PN Bengkulu,” pungkasnya. (Usan)