BERITA JAKARTA – Berlarut-larutnya persidangan kasus penipuan dengan terdakwa Burhanuddin yang merupakan Komisaris Utama PT. Kalpataru atau PT. Mahakam Sawit Plantation Group (MSPG) bersama Muhammad Ali yang juga sebagai Komisaris di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, mengundang berbagai spekulasi dan kecurigaan.
Pasalnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU), Abdul Sangadji selalu meminta penundaan waktu sidang dengan dalih ketidaksiapannya saat agenda pembacaan tuntutan terhadap terdakwa. Akibatnya, Ketua Majelis Hakim, Delta Tamtama, harus menunda hingga 4 kali acara persidangan.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menduga adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oknum Jaksa. Karena itu, Kejaksaan harus berani menuntut berat apabila ingin membuktikan tidak adanya unsur rekayasa hukum dalam perkara tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Seharusnya Kejaksaan tidak boleh melakukan penundaan dengan alasan belum siap. Jika itu terjadi, ada kesan menimbulkan kecurigaan dimasyarakat. Semestinya Kejaksaan harus bisa membuktikan keseriusannya dengan mengajukan tuntutan yang maksimal,” kata Fickar kepada Matafakta.com, Rabu (31/8/2023) di Jakarta.
Menurutnya, ketidaksiapan Jaksa dalam menangani suatu perkara dipersidangan juga patut dipertanyakan. Mengingat sejak tahap penyidikan, Jaksa sudah bisa dipastikan telah memahami materi perkaranya.
“Sehingga, ya tak masuk akal, apalagi kan tinggal membacakan tuntutan. Kenapa harus ditunda-tunda,” tegas Fickar.
Kemungkinan Diberlakukan Restoratif Justice Terhadap Perkara
Ketika disinggung soal kemungkinan akan diberlakukannya Restoratif Justice (RJ) terhadap perkara tersebut, Fickar mengatakan, bahwa RJ merupakan penyelesaian peristiwa pidana dengan pendekatan keperdataan. Sehingga antara pelaku tindak pidana dengan korban telah terjadi kesepakatan untuk perdamaian.
“Karena itu tujuan akhirnya pemulihan korban pada keadaan semula. Ini hanya bisa terjadi pada peristiwa Pidana yang dilakukan oleh orang yang baru atau tidak sengaja melakukan tindak Pidana,” katanya.
Akan tetapi menurut Fickar, apabila pelaku tindak Pidana merupakan penjahat kambuhan alias residivis, tidak cocok dan tidak konteks RJ diberlakukan pada resedivis, bahkan statusnya sebagai resedivis menjadi faktor pemberat hukuman.
“Kalau resedivis itu seorang yang sudah berkali-kali melakukan tindak pidana, karena itu disebut penjahat kambuhan atau residivist. Itu tidak cocok dan tidak konteks RJ diberlakukan kepada resedivis, bahkan statusnya sebagai resedivis menjadi faktor pemberat hukuman,” imbuhnya.
Meski demikian, Fickar juga mengingatkan Kejaksaan dalam memberikan RJ agar benar-benar harus mempertimbangan apsek keadilan di masyarakat.
“Restorative Justice ini bisa bermuatan negatif, bisa juga sebaliknya. Karena bukan tidak mungkin bisa digunakan oleh oknum dengan modus RJ, padahal dibalik itu ada transaksi jahat,’’ ujarnya.
Seperti diketahui, kasus penipuan ini bermula dari laporan Freddy Tjandra, dimana terlapor Burhanuddin menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam akte autentik dengan maksud menggunakan akta tersebut untuk penipuan jual beli tanah di Desa Kedawung, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Subang, Jawa Barat pada 2016 silam.
Sebelumnya, terdakwa Burhanuddin dan Muhammad Ali ini juga pernah terlibat kasus penipuan serupa, dan berhasil ditangkap Bareskrim Polri dengan tuduhan penipuan terhadap PT. Wika Beton (WB) dan PT. Sinar Indahjaya Kencana (SIK) dengan kerugian sebesar Rp233 miliar.
Kasus penipuan yang terjadi pada tahun 2016 silam itu kemudian dilaporkan PT. WB ke Bareskrim terkait sertifikat lahan seluas 500 ribu meter persegi yang dibeli dari PT. Agrawisesa Widyatama (AW) di Desa Karangmukti, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Namun hingga kini sertifikat lahannya tidak ada, diduga telah dijaminkan Burhanuddin di Bank Qatar National Bank (QNB) Indonesia.
Saat kasusnya pelimpahan tahap II di Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan, Muhammad Ali berhasil kabur. Dan kini dia masuk ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Kejari Jakarta Selatan maupun Bareskrim Polri atas kasus yang baru. Sedangkan Burhanuddin yang menjadi terdakwa kasus tersebut telah divonis 3 tahun 10 bulan penjara.
Ironisnya, Burhanuddin kini malah kembali diajukan ke meja hijau dengan kasus serupa. Yakni melakukan penipuan dalam akta autentik yang digunakan untuk penipuan jual beli tanah di Desa Kedawung Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Subang, Jawa Barat tersebut.
Sementara itu menanggapi kesiapan JPU yang terkesan mengulur-ulur agenda sidang dalam pembacaan tuntutan terdakwa, Kajari Jakarta Selatan Syarief Sulaeman saat dihubungi juga belum memberikan respon ataupun jawaban apapun. (Sofyan)