BERITA JAKARTA – Pencari keadilan Rita KK bakal mengadukan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, pimpinan M. Sainal ke Komisi Yudisial (KY), Ombudsman dan Badan Pengawasan (Bawa), Mahkamah Agung (MA).
Pasalnya, kata Kuasa Hukum, Rita, Ketua Majelis Hakim, M. Sainal dengan dua Hakim Anggota memutuskan kasus Perbankan dengan terdakwa eks Dirut Bank Swadesi atau Bank Of India Indonesia (BOII), Ningsih Suciati sarat dengan kejanggalan, menihilkan kebenaran dan jauh dari rasa keadilan masyarakat.
“Perlu diadukan ke KY, Ombudsman dan MA putusan yang tidak mengandung rasa keadilan masyarakat itu,” terang Kuasa Hukum Rita, Hasanuddin Nasution, Selasa (8/12/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurutnya, kendati dalam kasus ini hanya Rita KK dirugikan miliaran rupiah, dizolimi, kecewa, merasa prihatin, sedih hingga menangis atas putusan tersebut. Sesungguhnya, banyak sekali masyarakat Indonesia, terutama masyarakat yang tidak dekat dengan kekuasaan, awam hukum yang tidak mendapatkan keadilan.
Menyinggung bahwa sebelumnya, Alex Asmasoebrata, telah meminta dilakukan pemantauan dan pengawasan kepada KY dan Bawas MA akan persidangan kasus tersebut, tetap tidak menyurutkan niat klien dan dirinya mengadukan putusan yang dinilai tidak memenuhi rasa keadilan baik ke KY, MA dan Ombudsman.
“Alasannya, hanya secara tertulis saja disebutkan dilakukan monitoring dan pengawasan. Faktanya, selama persidangan tidak pernah tampak aparat KY maupun MA memonitoring atau melakukan pengawasan,” tungkasnya.
Majelis Hakim pimpinan, M. Sainal membebaskan bekas Dirut Bank Swadesi atau BOII, Ningsih Suciati dari jerat hukum pidana Perbankan, Senin 7 Desember 2020.
Alasan Majelis, karena pengenaan Pasal 49 huruf b UU Perbankan terhadap Ningsih oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dinilai prematur. Terdakwa juga dinilai hanya melanggar SOP dan banknya tidak pernah tidak mengindahkan teguran atau peringatan Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Masih terlalu prematur pengenaan Pasal 49 huruf b kalau terkait tidak dipatuhinya SOP,” ujar Majelis Hakim.
Menurut Hasanuddin, vonis Majelis Hakim tersebut menyiratkan betapa sulitnya masyarakat mendapatkan keadilan meski sudah puluhan tahun digapai-gapainya. Akibatnya, bukan tidak mungkin masyarakat menjadi takut menempuh upaya hukum sekalipun dirugikan, karena hukum itu sulit sekali didapatkan mengingat harganya yang sangat mahal hingga tidak terjangkau.
Hasanuddin juga mendapat kesan Majelis Hakim seolah bukan pemberi keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Hal itu terjadi, karena hakim seolah tidak tahu bahwa putusannya itu hampir sama dengan undang-undang atau menjadi yurisprudensi. Artinya saat ada kasus serupa maka hakim berikutnya dapat memutuskan sesuai yurisprudensi itu.
“Maka yang terjadi berikutnya kekacauan hukum (Perbankan). Debitur dengan usahanya tidak dilindungi bahkan dijauhkan dari keadilan. Sementara, kepentingan kreditur dijaga dilindungi bahkan diproteksi,” ujarnya.
Padahal, kata Hasanuddin, terdakwa sendiri dalam persidangan telah mengaku melakukan sebagaimana didakwakan Jaksa. Tetapi bukan hanya dirinya sendiri, melainkan dilakukan bersama-sama direksi, komisaris dan komite kredit di Swadesi atau BOII.
“Dalam perkara pidana pengakuan seorang terdakwa terutama yang bersesuaian dengan keterangan saksi, pendapat ahli dan alat bukti lain jelas lebih dari cukup bagi Majelis Hakim untuk menghukumnya,” tutur Hasanuddin. Kecuali ada faktor non teknis mempengaruhi majelis hakim tersebut.
Ditambahkan, Hasanuddin, tidak hanya pengaduan terdakwa itu saja yang mengisyaratkan keganjilan putusan kasus Ningsih. Sebelumnya Rita KK juga mengajukan prapid dan dikabulkan Hakim. Sebaliknya prapid yang dimohonkan Ningsih ditolak Hakim.
“Lebih dari itu, berkas 15 tersangka dalam kasus sama telah diserahkan Mabes Polri ke Kejaksaan Agung. Dengan fakta-fakta itu menjadi tidak rasional putusan Majelis Hakim membebaskan terdakwa dari segala dakwaan maupun tuntutan hukum tersebut,” pungkasnya. (Dewi)