BERITA JAKARTA – Akrobatik oknum petinggi Kejaksaan Agung diduga “menyulap” anggaran pengadaan tender tahun 2024, terkait proyek alat taktikal aktif Intelijen Monitoring Survailen sebesar Rp200 miliar menjadi Rp100 miliar.
Fakta itu seperti meredam upaya penanganan kasus-kasus korupsi yang tengah dilakukan jajaran Pidana Khusus (Pidsus) di Kejaksaan Agung (Kejagung). Indikasi pemangkasan anggaran proyek terlihat dalam data yang diperoleh Matafakta.com pada Minggu 12 Januari 2025
Dimana, PT. Asa Karya Perdana (AKP) sebagai vendor dengan metode Penunjukan Langsung alias PL saat pengerjaan peralatan taktikal aktif Intelijen Monitoring Survailen yang ditengarai hanya mendapatkan pagu proyek senilai Rp100 miliar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara, dalam daftar program kerja yang diteken Jaksa Agung ST. Burhanuddin pada 17 Mei 2024 mengenai Peraturan Kejaksaan RI Nomor: 2 Tahun 2024, tentang rencana kerja Kejaksaan RI tahun 2024:
“Bahwa peralatan taktikal aktif Intelijen Monitoring Survailen sudah dianggarkan sebesar Rp200 miliar dan tercatat dalam berita Negara RI Tahun 2024 Nomor: 297 oleh Dirjen Perundang-undangan Kemenkumham pada 5 Juni 2024”.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Hukum, Hendry Tampubolon mengatakan, jika benar ada dugaan pemangkasan anggaran maka harus dijelaskan kepada publik dalil apa yang dijadikan acuan pemangkasan anggaran tersebut?.
“Hal ini untuk terciptanya transparansi penggunaan anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN,” ujarnya, Selasa (14/1/2025).
Selain indikasi “penyunatan” anggaran dana proyek Intelijen, keberadaan vendor PT. AKP di Kejagung diduga dilakukan dengan metode pengadaan melalui Penunjukan Langsung alias PL.
“Ada juga dugaan PT. AKP tidak kompeten dalam pengadaan alat taktikal aktif Intelijen Monitoring Survailen,” ucapnya.
Dikatakan Henri, terkait dugaan adanya temuan pemangkasan dana proyek Intelijen Kejagung itu penuh tanya dan sangat mengundang kecurigaan.
“Alasannya, apakah pemangkasan anggaran itu diketahui Menteri Keuangan atau bagaimana? Apakah pemangkasan anggaran pengadaan alat Intelijen itu karena alat yang diadakan mutunya asal-asalan atau bagaimana?,” sindirnya dengan nada keraguan.
Terkait hal ini, Hendry meminta Kejagung harus menjelaskan secara terbuka kepada publik agar jangan terus memelihara kecurigaan ditengah masyarakat.
“Jika ada indikasi terjadinya Perbuatan Melawan Hukum atau PMH melalui KKN, maka harus diproses secara hukum tanpa pandang bulu,” tandasnya.
Terpisah, eks Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahuan mengkritisi soal proyek Penunjukan Langsung atau PL.
Menurut Abdullah, metode PL dalam pengadaan barang dan jasa dapat dilakukan dengan berbagai persyaratan yakni Pasal 1 angka 39 PP No. 12 tahun 2021, tentang Perubahab Atas Peraturan Presiden No. 16 tahun 2018, tentang pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dalam keadaan tertentu yakni:
* Penyelenggaraan penyiapan kegiatan yang mendadak untuk menindaklanjuti komitmen Internasional yang dihadiri Presiden dan Wakil Presiden.
* Barang dan Jasa yang bersifat rahasia untuk kepentingan Negara atau Barang dan Jasa lain bersifat rahasia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
* Pekerjaan konstruksi bangunan yang merupakan satu kesatuan sistem konstruksi dan satu kesatuan tanggung jawab atas risiko kegagalan bangunan yang secara keseluruhan tidak dapat direncanakan atau diperhitungkan sebelumnya.
* Barang atau pekerjaan konstruksi atau jasa lainnya yang hanya dapat disediakan oleh satu pelaku usaha yang mampu.
* Pengadaan dan penyaluran benih unggul meliputi benih padi, jagung, dan kedelai, serta pupuk yang meliputi urea, NPK dan ZA kepada petani.
* Pekerjaan prasarana, sarana dan utilitas umum di lingkungan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang dilaksanakan oleh pengembang.
* Barang atau pekerjaan konstruksi atau jasa lainnya yang spesifik dan hanya dapat dilaksanakan oleh pemegang hak paten, atau pihak yang mendapat izin dari pemegang hak paten, atau pihak yang menjadi pemenang tender untuk mendapatkan izin dari Pemerintah.
* Barang atau pekerjaan konstruksi atau jasa lainnya yang setelah dilakukan tender ulang mengalami kegagalan, atau
* Pemilihan penyedia untuk melanjutkan pengadaan barang atau pekerjaan konstruksi atau jasa lainnya dalam hal terjadi pemutusan kontrak.
Pertama, kata Abdullah, harus dipastikan, apakah dilakukan tender atau Penunjukan Langsung (PL). Kedua, kalau dilakukan secara sistem PL, apakah sudah memenuhi syarat boleh dilakukan suatu Penunjukan Langsung?.
Ketiga, tambah Abdullah, kalau dilakukan tender, maka apakah dilakukan tender terbuka atau tender tertutup. Keempat, kalau dilakukan tender terbuka maka apakah PPK Kejagung punya Harga Perkiraan Sendiri atau HPS?.
“Kelima, apakah ada audit yang sudah dilakukan BPKP.? Keenam, apakah sudah ada audit oleh BPK.? Kalau sudah ada jawaban atas enam hal di atas baru kita bisa ambil kesimpulan, apakah ada KKN atau tidak,” pungkasnya. (Sofyan)