BERITA JAKARTA – Fenomena maling teriak maling dalam sebuah perkara pidana khususnya pidana korupsi bukalah merupakan hal yang baru direpublik ini. Pasalnya, hal tersebut lazim dilakukan para bromocorah dari mulai dari kelas teri hingga kelas kakap.
Meski demikian yang mengetahui siapa sebenarnya maling teriak maling adalah pelaku itu sendiri dan Tuhan.
“Sebab yang disebut maling itu adala pelaku langsung. Pelaku yang membantu dan pelaku yang memberikan kesempatan terjadinya pencurian,” kata Pakar Pidana, Dr. Abdul Fickar Hadjar, Sabtu (14/5/2022).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain itu, sambung Fickar, aksi maling teriak maling merupakan modus pengalihan isu dalam tindak pidana korupsi dengan tujuan agar penegak hukum terkecoh.
Sebelumnya, Jaksa Agung ST. Burhanuddin menilai kasus minyak goreng terhadap mantan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana sebagai tersangka dugaan korupsi terkait izin ekspor Crude Palm Oil (CPO).
“Ada fenomena maling teriak maling, terlalu pede. Dipikirnya dia akan tidak terendus,” sindir ST. Burhanuddin di kanal Youtube Deddy Corbuzier yang ditayangkan, Kamis (12/5/2022) lalu.
ST. Burhanuddin menegaskan bahwa yang namanya jejak digital tidak bisa dihapus. Bahkan diungkapkan juga, jajaran Kejaksaan Agung (Kejagung) berhasil mengungkap pelanggaran yang dilakukan Indrasari dan tersangka lainnya melalui sebuah alat komunikasi.
Penilaian maling teriak maling tersebut dia sampaikan menanggapi soal momen pada saat rapat antara jajaran Kemendag dengan Komisi VI DPR pada 17 Maret 2022, dimana Indrasari sempat membisiki Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi terkait akan adanya pengungkapan tersangka kasus mafia minyak goreng.
Menurut Ahli Pidana dari Fakuktas Hukum Universitas Islam Indonesia, Prof Mudzakir, tersangka Indrasari Wisnu Wardhana nyaris membuat penegak hukum terkecoh dengan pernyataan yang dibuatnya.
Pelaku tindak pidana ini nyaris berhasil membonsai perkara pidana yang melibatkan banyak pelaku tindak pidana yang kemudian hanya diadili satu atau dua atau sebagian kecil pelaku yang posisnya minor (minor dukungan kekuasaan dan dukungan politik atau dukungan finansial).
“Sehingga, penegak hukum tidak mengadili semua pelaku karena ada proses seleksi. Perbuatan tersebut sangat mengecewakan masyarakat dan menjadi hutang aparat penegak hukum sebagai pemegang amanah konstitusi dibidang penegakan hukum,” pungkasnya. (Sofyan)