BERITA JAKARTA – Konsep restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri, ternyata tidak semudah membalikan telapak tangan meski Kapolri sudah mengeluarkan SE/8/VII/2018, tentang penerapan restorative justice dalam penyelesaian perkara pidana.
Hal tersebut dialami para klien LQ Indonesia Law Firm, korban investasi bodong yang sudah tercapainya perdamaian atau restorative justice antara korban investasi dan pihak perusahaan yang sudah menganti full kerugian nasabah yang kini dilaporkan balik pihak perusahaan akibat terbentur Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) di Unit Fiskal Moneter dan Devisa (Fismondev) Dit Reskrimsus Polda Metro Jaya (PMJ).
Kepala Bidang Humas dan Media LQ Indonesia Law Firm, Sugi mengatakan, LQ Indonesia Law Firm, sangat berterima kasih kepada Kapolri dan IPW yang sudah mengatensi, sehingga pada Jumat, 3 September 2021 kemarin, Tim Gabungan Paminal Polda dan Mabes Polri mau sungguh-sungguh menindak oknum-oknum Fismondev yang menolak melakukan SP3 kepada kasus dugaan investasi bodong gtersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ada 5 laporan polisi di Fismondev yang sudah berdamai secara restorative justice dan di BA pencabutan dengan datang ke kantor pusat LQ Indonesia Law Firm untuk meminta dokumen, terkait dugaan pemerasan oknum Fismondev. Datangnya Tim Gabungan Paminal menandai keseriusan Polri menjaga Etika dan Tribrata di Korps Bhayangkara,” terang Sugi kepada wartawan, Senin (6/9/2021).
Pada kesempatan itu, sambung Sugi, Tim Paminal Mabes Polri yang dipimpin Waka Den A, AKBP Sugeng dan Tim Polda Metro Jaya, diperdengarkan rekaman-rekaman dugaan pemerasan yang dilakukan oknum terkait di Fismondev dan LQ Indonesia Law Firm memberikan seluruh dokumen pendukung yang diminta Tim Paminal Mabes dan Polda Metro Jaya.
“LQ Indonesia Law Firm juga meminta agar Paminal jangan hanya stop memeriksa penyidik dan atasan penyidik di Subdit Fismondev, tapi agar mau memeriksa oknum di Itwasda Polda Metro Jaya, karena ada juga 3 laporan polisi yang ditangani di Unit IV dan I Subdit Fismondev yang sudah mendapatkan restorative justice,” ungkap Sugi.
Dia mengungkapkan, sebelum melakukan SP3, korban beserta kuasa hukum sudah berkoordinasi dengan Kasubdit dan Kanit terkait untuk wacana damai yang disetujui Perwira Fismondev. Setelah perdamaian dilakukan di Notaris berdasarkan Akta Notaris No. 4 dan 5, diberikan copy ke Kanit dan penyidik lalu dilakukan Berita Acara (BA) pencabutan terhadap pelapor 3 Laporan Polisi (LP) tersebut.
Para Korban yang tidak setuju ganti rugi aset kemudian membuat 2 laporan polisi baru di Fismondev, sehingga tidak mencegah proses hukum kepada yang belum damai dan belum diberikan ganti rugi.
Setelah itu, ada oknum pengacara didampingi 2 orang saksi yang ditugaskan pihak berkepentingan menghadap oknum-oknum Itwasda Polda Metro Jaya yang disinyalir memberikan gratifikasi dan menghentikan 2 LP baru dan memerintahkan Itwasda mengelar perkara dengan hasil yang sudah disepakati oknum pengacara dan oknum Itwasda.
“Alhasil 2 LP baru Fismondev di SP3. Sedangkan 3 LP lama yang sudah ada restorative justice diminta dilanjutkan oleh oknum Itwasda, sehingga timbul kekacauan. Akta perdamaian sudah memberikan ganti rugi penuh, kepada para korban dan kewajiban korban untuk mencabut perkara dan memberikan SP3 tidak bisa dilaksanakan,” tutur Sugi.
Sehingga, sambung Sugi, timbul masalah baru, perusahaan investasi yang sudah dengan itikat baik memberikan ganti rugi full jadi kehilangan asetnya, karena oknum Fismondev mengunakan kesempatan untuk menekan pihak berperkara atas hasil gelar perkara hasil jual beli dengan oknum Itwasda.
Lalu pihak Perusahaan investasi yang sudah dirugikan karena sudah memberikan ganti rugi aset kepada para korban merasa tertipu dengan hilangnya aset sejumlah sekitar Rp75 miliar yang sudah diserahkan ke Notaris untuk ganti rugi.
Sedangkan perdamaian, tambah Sugi, tidak terlaksana, maka pihak perusahaan membuat Laporan Polisi balik di Polda Metro Jaya dengan LP: STTPL/B/4216/VIII/2021/SPKT/Polda Metro Jaya tertanggal 28 Agustus 2021 dengan terlapor para korban yang sudah setuju damai.
“Akibat dari tindakan para oknum Itwasda Polda Metro Jaya yang mempengaruhi hasil gelar perkara membuat keruh permasalahan, karena aset yang dititipkan di Notaris tidak bisa di ambil oleh para korban karena syarat mengambil yang disetujui di Notaris adalah tukar dengan SP3, padahal aset sudah di balik nama ke korban,” pungkas Sugi. (Sofyan)