BERITA JAKARTA – Pengamat Hukum LQ Indonesia Law Firm, Advokat Rizky Indra Permana, SH, MH mengatakan, seiring modernisasi peradaban manusia, sebuah bisnis sebagai roda penggerak ekonomi haruslah serba cepat, tepat dan efektif agar tetap bisa mempertahankan eksistensinya.
Hal tersebut, selaras dengan sifat naturaliah manusia yang pada hakikatnya lebih menyukai sesuatu yang simple dan mudah, termasuk dalam sebuah hubungan bisnis dan hal tersebutlah yang menginisiasikan terciptanya sebuah kontrak baku atau perjanjian baku.
Dikatakannya, dilihat dari aspek hukum, perjanjian baku sendiri merupakan perjanjian innominaat atau perjanjian tidak bernama yang tidak diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Asas yang mendasari sebuah kontrak baku dibuat adalah Pasal 1338 yang menjadi banyak kelemahan dari sebuah kontrak baku terletak pada ketimpangan antara hak dan kewajiban masing-masing pihak. Sebab, kontrak baku itu sendiri pada dasarnya di buat oleh satu pihak atau principal yang disetujui pihak yang sekiranya mau memiliki hubungan hukum dengannya,” kata Rizky saat berbincang dengan Matafakta.com, Rabu (11/8/2021).
Menurut Rizki, kontrak baku di era modern ini dapat di kategorikan menjadi dua jenis, yaitu sebuah kontrak baku tertulis (paper based contract) dan kontrak baku digital (digital contract), keberadaan kontrak baku dikehidupan masyarakat hukum hampir disemua aspek kehidupan, mulai dari hal kecil sebagai ilustrasi karcis parkir Rp5000 yang harus disetujui pengguna parkir, sampai kontrak baku yang memiliki kerumitan penyelesaian sengketa seperti asuransi, perjanjian kerja (PHI) dan sebagainya.
“Termasuk di aplikasi ponsel yang mencentang syarat ketentuan berlaku saat meng instaliasinyai. Sesuatu perjanjian yang disodorkan secara elektronik dibuat oleh principal dan disetujui pihak lain yang beringinan memiliki sebuah hubungan hukum merupakan gambaran kecil dari sebuah kontrak baku. Apalagi di era pandemi seperti saat ini, kontrak baku digital betul-betul dibutuhkan dalam kebutuhan bisnis,” jelasnya.
Dikarenakan pembuatannya hanya satu pihak, perjanjian ini rawan sekali menimbulkan sengketa hukum, karena dapat melahirkan klausa-klausa eksonerasi (Exoneration clauses), yaitu syarat memuat menambahkan kewajiban-kewajiban kepada penerima perjanjian sekaligus mengurangi atau menghindari kewajiban-kewajiban dari principal itu sendiri, belum lagi kontrak baku yang digunakan sering kali memiliki bahasa yang sulit dimengerti masyarakat awam, letak dari isi perjanjian yang sulit dilihat bahkan tidak dibaca oleh penerima kontrak.
“Walaupun pada Undang-Undang 8 Tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) disebutkan larangan dalam kontrak baku terdapat kalusa eksonerasi, akan tetapi tidak secara tegas kodefikasi serta draft bagaimana standarisasi sebuah kontak baku yang benar-benar melahirkan keseimbangan hak-kewajiban dari masing-masing pihak,” imbuhnya.
Untuk itu, lanjut Rizki dia menghimbau kepada masyarakat, pengusaha, perusahaan dan pemilik bisnis yang memiliki permasalahan hukum yang pasti bermuara dari sebuah perjanjian baku, dapat menghubungi LQ Indonesia Law Firm di 0818-0489-0999 untuk berkonsultasi, karena pentingnya konsultasi untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan yang berkaitan dengan hukum UU Perlindungan Konsumen (UUPK).
Hal demikian itu juga merupakan atensi dan usulan bagi Pemerintah dalam memperbarui UU Perlindungan Konsumen yang lebih relevan dalam problematika hukum di Indonesia, mengingat UU Perlindungan Konsumen ini sendiri lahir atas desakan IMF pada zaman moneter, yang dianjurkan membuat empat Undang-Undang di antaranya: bankruptcy law reform (UU Kepailitan), new arbitration regulation (UU Alternatif Penyelesaian Sengketa), Competition Policy (UU Persaingan Usaha Tidak Sehat), Consumer Protector (UU Perlindungan Konsumen).
“Banyak perusahaan keuangan terutama Leasing dan Asuransi mengunakan aturan baku yang melanggar Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen, seperti contohnya mengunakan huruf kecil yang susah dilihat dan menghilangkan manfaat, sehingga merugikan konsumen. Namun pada realitasnya UU Perlindungan Konsumen ini susah untuk di tegakkan, karena aparat penegak hukum masih Pro Kalangan atas dan hal ini membuat investor asing takut dan menghindari investasi di Indonesia,” pungkas Rizky. (Indra)