BERITA JAKARTA – Hilangnya kepercayaan maka apapun penjelasannya tidak akan dapat meyakinkan orang yang sudah dikadali. Apalagi, diharapkan untuk mengikuti atau mendukungnya.
“Ini problematika yang sangat krusial dan penting untuk menjalankan berbagai agenda politik yang bersentuhan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara diberbagai aspek kehidupan,” terang pengamat politik Samuel F Silaen kepada Matafakta.com, Kamis (18/4/2024).
Bila kepercayaan rakyat, kata Silaen, sudah mulai terkikis, maka apapun yang disampaikan atau dikatakan oleh Pemerintah tidak akan bisa diterima akal sehat, karena rakyat waras merasa dibohongi dan ditipu mentah-mentah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Terkait pelaksanaan Pemilu 2024 yang diduga kuat terjadi kecurangan Terstruktur, Sistematis dan Masif atau TSM sepertinya tak terbantahkan meskipun sudah berusaha ditutupi dengan berbagai cara untuk meyakinkan rakyat,” jelasnya.
Dilanjutkan Silaen, melihat kasus Perselisihan Sengketa Pilpres tahun 2024 yang dituangkan dalam Nomor 1 dan 2/PHPU.PILPRES.XXII/2024, dimana dalam gugatan yang diajukan Pemohon 1 dan Pemohon 2 adalah akibat cawe-cawe penguasa.
“Cawe-cawe penguasa itu untuk memuluskan salah satu pasangan calon sebagai penerima bantuan dan manfaat atas intervensi yang dilakukan lewat kebijakan tersembunyi,” ungkap Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (LAKSAMANA).
Dugaan kuat adanya pelanggaran Pemilu yang melibatkan Aparat Pemerintah, Presiden dan jajarannya, KPU, Bawaslu dan malpraktik keputusan peradilan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan amar putusan No. 90 /PUU.XXI/2023, tentang Batas Usia Minimal Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.
“Pegiat demokrasi mendorong kewenangan MK yang seolah-olah hanya menyelesaikan perselisihan jumlah suara antara masing- masing peserta Pemilu, sehingga setiap kali MK menyidangkan perselisihan Pemilu atau Pilpres diidentikkan dengan MK,” kata Alumni Lemhanas Pemuda 2009 itu.
“Sebab apa yang terungkap dipersidangan MK jelas terlihat keterlibatan atau campur tangan penguasa dalam memenangkan salah satu Pasangan Calon atau Paslon,” tambah Silaen yang juga mantan fungsionaris DPP KNPI ini.
Menurutnya, prilaku terselubung penguasa inilah yang merusak kepercayaan publik hingga mulai memudar dan menimbulkan dampak serius yakni distabilitas sosial diberbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Juga dapat merusakkan seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa bernegara di semua level akibat dari intervensi atau ‘cawe- cawe’ penguasa beserta antek-anteknya,” bebernya.
Kewenangan MK Bisa Mengevaluasi UU
Masih kata Silaen, bila melihat tugas dan kewenangan MK bukan saja menyelesaikan persoalan perselisihan angka-angka Pemilu atau Pilpres, tetapi jauh lebih besar yakni bisa mengevaluasi Undang-Undang (UU) yang melenceng pelaksanaannya.
Artinya, apakah sudah sesuai dan selaras dengan UUD 1945 Pasal 22 C ayat (1) dan proses pelaksanaan Pilpres itu juga apakah sudah sesuai dengan UUD 1945 Pasal 22 E, tentang pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
“Kecurangan Pilpres 2024 terlihat jelas dari berbagai protes keras masyarakat, tentu saja ini sulit dibuktikan, karena adanya mobilisasi aparatur oleh penguasa secara tersembunyi, bila tidak melibatkan kekuasaan maka tidak mungkin terjadi,” imbuhnya.
Artinya, kecurangan itu dimulai dari tiap-tiap tahapan Pemilu atau Pra Pelaksanaan (Pendaftaran), Pelaksana (Masa Kampanye atau Pencoblosan) dan Pasca Pelaksanaan (Perhitungan si Rekap atau Berjenjang). KPU dan Bawaslu tidak menjalankan sesuai perintah Undang Undang itu sendiri.
“Sehingga Pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024 yang diindikasi banyak kecurangan dengan melibatkan unsur, Pemerintah, KPU, Bawaslu dan MK. Tidak bisa kita berpatokan pada UU seolah tahapan tahapan itu sudah dilaksanakan dan diakui kebenarannya,” tutur Silaen.
Padahal kita disuguhkan dengan berbagai bukti-bukti bahwa Ketua MK yang memutuskan Putusan No. 90 dinyatakan bersalah dan melakukan pelanggaran oleh MKMK. Lalu KPU juga dihukum bersalah dan melakukan Pelanggaran sampai 5 kali oleh DKPP.
Publik mendorong kemandirian dan profesionalitas hakim- hakim MK bukan saja memutuskan untuk menegakkan keadilan semata, tetapi MK juga memiliki peran untuk menegakkan marwah konstitusi yang sudah dikangkangi oleh penguasa.
“Menanti keberanian yang mulia para hakim MK untuk membuat keputusan yang menjadi tonggak sejarah penting Penegakan Hukum yang sudah terciderai oleh penguasa dan antek-anteknya,” sebut Silaen.
Masih kata Silaen, seharusnya penyelenggara Pemilu, Pengawas Pemilu itu harus independen. Disinilah publik mendorong dan mendukung MK terkait Penyelesaian Sengketa Pilpres dapat dituntaskan dengan seadil- adilnya guna tegaknya konstitusi dan tegaknya hukum sesuai amanah UUD 1945 dapat tercapai.
“Keputusan yang mulia para Hakim MK saat ini sangat ditunggu 270 juta rakyat Indonesia dan miliaran mata memandang penegakan Demokrasi di Indonesia saat ini. Ini salah satu caranya untuk mengembalikan tingkat kepercayaan publik yang memudar,” pungkasnya. (Indra)