BERITA JAKARTA – Reshuffle kabinet Indonesia maju sudah lama berembus kencang, tapi baru sekarang dieksekusi oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal tersebut, dikatakan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (LAKSAMANA), Samuel F. Silaen.
“Lumayan cukup lama baru dilakukan perombakan kabinet, tentu saja karena memperhitungkan politik Nasdem apa dampaknya terhadap kondusifitas pemerintahan yang sudah di penghujung tahun,” kata Silaen di Jakarta, Senin (17/7/2023).
Menurut Silaen, melihat Pemerintah sekarang lebih kepada bagi-bagi ‘kue kekuasaan’ meskipun pos anggaran pengeluaran negara terus membengkak yang ujungnya harus berutang lagi ke negara asing untuk menutupi defisit anggaran negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Karena pos anggaran negara buat peruntukan gaji cukup besar. Okelah, tak masalah buat Presiden Jokowi, karena sejatinya yang mencari uang itu adalah tupoksi Menteri Keuangan Republik Indonesia,” kritik Silaen.
“Seperti aji mumpung selagi masih dipercaya berutang maka akan lebih enak berutang. Tak hirau bagaimana cara membayar utang tersebut dikemudian hari. Apakah itu termasuk menjual harta warisan bangsa Indonesia yakni kekayaan alam Indonesia,” tambah Silaen.
Berhutang cara cepat buat menutupi defisit neraca anggaran keuangan Negara, lalu dengan enteng akan menaikkan pajak, biaya masuk barang impor yang intinya semua dipajaki oleh Pemerintah.
“Inilah cara yang paling gampang buat pejabat negara. Itulah enaknya jadi pejabat negara, rakyat dipaksa kerja ‘rodi’ mirip dengan masa penjajahan,” sindir Silaen.
Paling banter akibat kebijakan Pemerintah tersebut maka harga-harga kebutuhan rakyat Indonesia akan naik. Maka tak heran rakyat Indonesia diposisikan sebagai obyek sapi perah yakni konsumen abadi, alih- alih menuju negara produsen tapi perlakuan Pemerintah terhadap rakyat tak ubahnya antara majikan dan pembantu.
Posisi daya beli masyarakat terbukti terus turun dan melemah. Tapi rakyat Indonesia sungguh baik tidak seperti rakyat diberbagai negara seperti Prancis, Inggris yang berani melawan kebijakan Pemerintah yang nyeleneh.
“Kegundahan rakyat seperti api dalam sekam, tak berani demo menentang kebijakan Pemerintah, cuma ngedumel tok. Rakyat Indonesia terlalu baik mau ditindas oleh Pemerintah atau penguasa yang dipilih oleh rakyat sendiri,” beber Silaen.
Pemerintahan Jokowi tidak memikirkan beban rakyat Indonesia makin berat dengan berbagai kutipan ‘upeti’ oleh oknum- oknum penguasa dengan berbagai aturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah lewat Kementerian atau Lembaga teknis.
Menilik efektifitas pemerintahan Jokowi sebenarnya menurut konstitusi hanya hitungan bulan, beberapa bulan ke depan sudah memasuki tahapan Pemilu maka kebijakan strategis sudah tidak bisa lagi diambil oleh Pemerintah agar tidak menimbulkan gonjang- ganjing yang membuat gaduh.
Pemerintah ini termasuk zolim kepada rakyat dengan cara seperti ‘legal‘ tapi sebenarnya menghisap darah rakyat secara sistematis dan terstruktur. Gaji PNS naik dan semua pejabat pada naik.
“Tapi siapa yang menaikkan gaji rakyat atau pendapatan rakyat? Kebijakan Pemerintah. Inilah yang membuat rakyat tetap dalam kemiskinannya. Karena negara yang memiskinkan rakyat secara sistematis,” pungkasnya. (Indra)