BERITA JAKARTA – Semua pejabat, penguasa dunia dimanapun dimuka bumi atau diseluruh dunia tetap ada masanya tidak ada yang abadi ataupun kekal. Hal itu diungkapkan, Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (LAKSAMANA), Samuel F. Silaen.
“Seperti pepatah ‘Gajah mati meninggalkan gadingnya, manusia mati meninggalkan budi kebaikan. Artinya yang abadi dan kekal itu adalah kebaikan yang dilakukan semasa hidup,” kata Silaen kepada Matafakta.com, Kamis (15/6/2023) di Jakarta.
Ada yang menarik, lanjut Silaen, dilihat dipenghujung akhir masa periode kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi), publik disuguhkan atau ditontonkan tingkah laku pejabat negara yang membuat hati miris.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Sebab hampir semua kebijakan di bidang pangan yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat sudah tergadaikan kepada oknum mafia pangan,” ujarnya.
Dikatakan Silaen, apapun keadaannya, sekarang semua dilakukan dengan cara upeti seperti masa penjajahan kompeni. Itulah sebabnya Indonesia berjuang untuk merdeka dari penjajahan yang ada.
“Sekarang lucunya adalah justru yang menjajah negeri ini adalah pejabatnya yang mendapat penugasan dari rakyat. Tapi rakyat diposisikan sebagai obyek bukan subyek pembangunan,” kritik mantan fungsionaris DPP KNPI itu.
Sementara itu, sambung Silaen, pejabat negara lupa penderitaan rakyat karena mata hati mereka sudah tertutup hidayah Allah. Rakyat yang seharusnya dibantu, dimudahkan oleh penguasa justru digulung dengan berbagai permainan elite ‘berkolusi’ dengan oknum-oknum pemburu rente importasi pangan.
“Sehingga rakyat harus membeli kebutuhan hidup sehari-hari dengan harga yang mahal karena berbagai upeti disetorkan dimuka, sehingga terjadi high cost yang dibebankan kepada pembeli yakni rakyat,” ungkap Silaen.
Ketahuilah bahwa manusia lahir dengan telanjang dan matipun hanya memakai pakaian seadanya. Itupun tergantung pada pada agama yang dipeluknya. Jika pejabat yang mendapat penugasan dari rakyat, tapi justru memeras keringat rakyat, apa itu bukan ke-zoliman struktural dan pembiaran dari institusi penegak hukum.
“Ketika pemimpin atau orang yang sedang berkuasa lupa dirinya sendiri, seolah- olah dia akan berkuasa selamanya lalu lupa turun dan kembali menjadi rakyat biasa sebagaimana naturenya meski tetap punya privilege sebagai mantan pejabat negara atau Pemerintah,” jelas Silaen.
Orang yang lupa diri, tambah Silaen, ketika sedang berkuasa maka akan membuat dirinya hampa dan mengalami kekosongan hati nurani. Dan berusaha menutupi borok- borok yang dia lakukan selama menjabat atau berkuasa.
“Ini melebihi batas kapasitas yang seharusnya tak boleh dilakukan pejabat ketika diamanahkan sebagai pemimpin karena seluruh hidupnya dibiayai oleh negara dari pajak yang dipungut dari rakyat,” pungkasnya. (Indra)