BERITA JAKARTA – Dianulirnya tuntutan pidana selama 1 tahun penjara menjadi tuntutan bebas terhadap terdakwa Valencya yang marah atas sikap suaminya yang setiap pulang kerumah dalam keadaan mabuk mendapat apresiasi dari Pakar Hukum Ilmu Pidana, Dr. Abdul Fickar Hadjar.
“Apapun ceriteranya saya salut dengan Kejaksaan yang menyadari kekeliruannya,” kata Fickar sapaan akrabnya saat dimintai tanggapan soal revisi requisitor pidana, Selasa (23/11/2021).
Fickar beralasan pemberian tuntutan bebas merupakan restorasi Kejaksaan. Disatu sisi kata dia, pihak dan birokrasi yang masih dipengaruhi hal-hal diluar kepentingan hukum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Progresifitas Kejaksaan belum melebar kebawah, karena jaksa-jaksa dibawah masih meminta petunjuk atasan lantaran merasa dibawah perintah,” tandasnya.
Untuk diketahui Jaksa Penuntut Umum (JPU) membatalkan tuntutan satu tahun bui terhadap Valencya yang memarahi suaminya setiap pulang kerumah mabuk.
Dalam pertimbangannya, Jaksa dari Kejaksaan Agung (Kejagung) RI menilai perbuatan suami lah yang menyebabkan perkara ini terjadi.
“Tidak hanya dilihat karena terdakwa mengatakan kata-kata tidak sopan atau saksi korban tidak tahan, karena tertekan batin atas sikap perilaku terdakwa,” jelasnya.
Hal tersebut, lanjutnya, bukan merupakan pidana, justru perbuatan saksi korban lah yang membuat ini terjadi,” ucap JPU Kejagung saat sidang replik yang dibacakan dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Karawang.
Jaksa menyebut bahwa perkara itu sudah dijatuhi tuntutan. Namun, kata Jaksa, tak ada larangan untuk mengubah tuntutan yang sudah dibacakan. Atas dasar itulah, Jaksa menarik tuntutan sebelumnya yang dijatuhkan selama satu tahun menjadi tuntutan bebas.
“Tidak ada larangan menurut peraturan perundang-undangan JPU dapat memperbaiki tuntutan selama masih dalam ruang lingkup pembuktian. Namun perubahan tuntutan tersebut tidak mempengaruhi putusan Majelis Hakim seadil-adilnya terhadap diri terdakwa,” tuturnya.
Perubahan tuntutan tersebut didasarkan pada subjektivitas penuntut umum dan tidak dilandasi keadilan objektivitas dimana kehidupan sosial terdakwa Valencya yang kami pandang sudut sosiologis dan psikologis dan tekanan perbuatan saksi korban.
“Suaminya sendiri membuat terjadinya pertengkaran dan perselisihan berkepanjangan yang berpengaruh pada traumatis terdakwa,” ungkapnya.
Jaksa juga membacakan ringkasan isi nota pembelaan atau pleidoi yang dibacakan Tim Kuasa Hukum dan juga pleidoi Valencya berjudul ‘habis gelap terbitlah kriminalisasi’. Pleidoi itu dibacakan Valencya dalam sidang pekan lalu.
Selain itu, Jaksa menyebut bila korban dalam hal ini mantan suami Valencya, Chan Yu Ching disebut mengalami gangguan psikis. Namun, Jaksa menilai bahwa Valencya juga turut mengalami gangguan psikis.
“Tidak hanya saksi korban saja yang terganggu psikisnya, tapi terdakwa juga lah yang menanggung penderitaan dan keguncangan psikis,” kata dia.
Menurut Jaksa berdasarkan pemeriksaan dari RS. Siloam dan psikis oleh Polda Jabar, Chan Yu Ching meskipun mengalami gangguan psikis masih tetap bisa beraktivitas normal.
Mengingat korban tidak dalam penanganan khusus untuk merehabilitasi keadaan. Melainkan korban mampu berinteraksi dengan koleganya. Sebagaimana bukti yang terungkap dalam persidangan berkas perkara maupun yang terbuka dalam persidangan.
“Nyatanya perseteruan terdakwa dan korban sudah terjadi lama dan perceraian tahun 2018 dan rujuk setelah mediasi dan cerai kembali secara sah tahun 2020,” pungkas dia. (Sofyan)