BERITA JAKARTA – Merasa ditipu mitra bisnis dalam usaha pertambangan, Dirut PT. Graha Priman Energy (GPE), Herman Tandrin akhirnya menyeret rekan bisnisnya, Komisaris PT. Dian Bara Genoyang (DBG), Robianto Idup, kemeja hijau Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (14/7/2020).
Persoalan itu bermula, Maret 2011, terdakwa Robianto Idup, menawarkan kerja sama pertambangan batubara kepada korban, yang memang sebelumnya, sudah saling mengenal, sambil berpromosi bahwa, diareal tambang milik terdakwa, terdapat banyak cadangan batubara, sehingga menarik minat korban, Herman Tandrin.
Sebagai kontraktor yang punya peralatan berat ditambah dengan keuntungan yang cukup lumayan, selanjutnya, korban Herman setuju dengan kerja sama yang ditawarkan, terdakwa Robianto. Pihaknya pun, mulai mengerjakan pembangunan jalan dan pelabuhan terlebih dahulu di areal tambang milik terdakwa, Robianto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun sayangnya, kerjasama antara terdakwa Robianto Idup dan korban, Herman Tandrin itu hanya berjalan beberapa bulan saja. Pasalnya, pembayaran atas apa yang sudah dikerjakan korban macet dan tertunda hingga mencapai Rp70 miliar, sehingga korban terhambat untuk melanjutkan perkerjaannya.
“Tagihan April, Mei dan Juni 2012. Kami saat itu sudah tidak sanggup lagi melanjutkan pekerjaan penambangan, kecuali dibayar tagihan yang sudah tertunggak sebesar Rp70 miliar itu,” ungkap Herman Tandrin dimuka persidangan pimpinan Majelis Hakim, Floren Sani.
Dalam suatu kesempatan, terdakwa Robianto malah memberi alasan bahwa uangnya terlanjur diinvestasikan pada perusahaannya yang lain. Tetapi pada kesempatan lain, disebutkan, bahwa uang tagihan saksi korban terlanjur dipergunakan oleh ibu terdakwa.
Namun demikian, Robianto Idup tetap menjanjikan akan segera dibayar tagihan tersebut, jika Herman Tandrin melanjutkan pekerjaan penambangan di areal milik terdakwa Robianto. Lagi-lagi dijanjikan dan tinggal janji sampai akhirnya proyek distop dipenghujung tahun 2012.
Menanggapi hal itu, Penasihat Hukum terdakwa, Robianto yakni, Hotma Sitompul, mempertanyakan berapa denda yang harus dibayar saksi korban, Herman Tandrin kepada terdakwa akibat pekerjaan penambangan yang tidak mencapai target.
“Kami tidak pernah ditagih. Kami hanya diberi peringatan saja. Lagi pula keterlambatan dalam pelaksanaan pertambangan itu terjadi akibat longsor dan bukan longsor akibat penambangan yang kami lakukan,” kata saksi.
Hotma juga mempertanyakan tindakan terdakwa menyetop pelaksanaan penambangan padahal perjanjian kerja sama antara mereka masih ada beberapa tahun lagi.
“Saya tidak berani melanjutkan, karena tidak ada jaminan terdakwa Robianto bakal membayar tagihan kami seluruhnya. Saya takut hanya dijanji-janjikan saja terus menerus,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Hotma Sitompul, meminta kepada Majelis Hakim, agar saksi korban hadir disetiap persidangan dengan alasan ada bagian keterangannya yang berubah-ubah.
Namun, Majelis Hakim menyatakan, didengar dahulu keterangan saksi-saksi dan jika ada di antaranya keteranganya bertolak belakang dengan keterangan saksi korban, baru korban pelapor dihadirkan untuk dikonfrontir.
“Saksi korban berdomisili di Samarinda, kasihan kalau harus hadir disetiap persidangan,” jawab Ketua Majelis Hakim.
Sementara, Jaksa Penuntut Umum (JPU), Agus Khausal Alam dan JPU Boby Mokoginta sebelumnya mempersalahkan terdakwa Robianto Idup yang sempat buron dan melarikan diri ke luar negeri telah melanggar Pasal 378 KUHP dan Pasal 372 KUHP.
“Penipuan dan penggelapan tersebut dilakukan terdakwa bersama-sama dengan, Iman Setiabudi yang sudah dijatuhi hukuman satu tahun penjara bahkan telah usai menjalani hukuman,” pungkas Jaksa. (Dewi)