BERITA JAKARTA – Jelang Pilkada yang akan dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia pada 27 November 2024, berbagai upaya dan antisipasi bagi pihak-pihak yang berusaha menggagalkan pesta demokrasi di Indonesia akan berhadapan dengan Aparat Penegak Hukum (APH).
Jika terbukti, ancaman hukuman bagi penghasut pemilih di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), terancam sanksi 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
“Indikasi upaya tersebut diantaranya, menghasut pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu, sehingga suara menjadi tidak sah serta memaksa pemilih dengan berbagai cara agar memilih calon tertentu,” terang Advokat muda Rene Putra Tantrajaya, SH, LLM, CIM kepada wartawan, Minggu (13/10/24).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain itu, lanjutnya, setiap orang yang berusaha melakukan suap atau memberikan uang maupun bentuk benda lainnya, baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih, akan mendapat sanksi pidana.
“Perbuatan melawan hukum tersebut, diatur dalam Pasal 187A ayat (1) UU Nomor: 6 Tahun 2020, tetang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pelakunya terancam pidana paling rendah 3 tahun atau paling lama 6 tahun. Nomnal denda antara Rp200 juta hingga Rp1 miliar,” papar Rene biasa disapa.
Dikatakan Rene, bahwa kentuan pidana yang termaktub di Pasal 187A ayat (1) tersebut juga dapat diterapkan kepada para pihak yang terlibat di dalam proses Pilkada seperti pasangan calon, anggota Partai politik, tim kampanye dan relawan.
“Bunyi Pasal 73 ayat (4) di antaranya: Paslon, anggota Partai politik, tim kampanye dan relawan serta pihak lain dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum dengan cara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung,” ucap Rene mengutip pasal yang dimaksud.
Selain kasus diatas, lanjut Praktisi Hukum ini, ada pula terkait dengan kasus tindak pidana pencatutan data pribadi, yakni memberikan keterangan tidak benar atau dokumen palsu dalam hal pencalonan perseorangan.
“Kasus ini merupakan tindak pidana Pilkada dengan kategori pelanggaran berat. Atau kejahatan Pemilu. Ada tiga ketentuan hukum mengatur kejahatan satu ini, mulai dari KUHP, UU Perlindungan Data Pribadi Nomor 27 Tahun 2022 hingga UU Pemilihan Kepala Daerah Nomor 8 Tahun 2015 dan Nomor 10 Tahun 2016,” ungkap Rene.
PIMPINAN BERINTEGRITAS
Pada bagian lain Advokat muda lulusan Leeds Beckett University (Inggris) ini berharap peran aktif masyarakat mengawal pelaksanaan Pilkada 2024 dapat berjalan baik, sukses tanpa gangguan dari pihak-pihak yang ingin menggagalkan pesta demokrasi yang berlangsung 5 tahun sekali.
“Apabila mengetahui ada pihak-pihak tertentu yang mengusik proses Pilkada 2024, hendaknya melaporkan kepada aparat Kepolisian setempat. Perbuatan itu adalah tindak pidana, ada sanksi hukumnya,” tegas Rene.
Menurutnya, baik Pilpres, Pileg maupun Pilkada yang notabene sebagai perwujudan dari Pemilihan Umum (Pemilu), merupakan pesta rakyat dalam hal memilih Presiden, Wakil Presiden, Anggota Dewan, Gubernur, Bupati maupun Walikota secara langsung dan demokratis. Proses demokrasi ini adalah hak rakyat dalam hal menentukan pilihan pimpinan dan wakilnya di Parlemen.
“Seyogianya, masyarakat haruslah bisa memanfaatkan momentum pesta rakyat secara maksimal. Mensukseskan Pilkada 2024. Yang tak kalah pentingnya, dalam konteks ini, terpilihnya Pemimpin yang memiliki kompetensi, kapabel dan berintegritas tinggi serta bertaqwa kepada Tuhan YME,” papar Rene penuh harap.
Selain itu, kata Rene, yang terpilih harus setia kepada Pancasila, UUD 1945 dan berkomitmen ingin mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, yakni mewujudkan kesejahteraan hidup, berkeadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah yang dipimpinnya.
Sangat diharapkan, tambah Rene, peran aktif masyarakat mengawal pelaksanaan Pilkada 2024 agar berjalan sukses tanpa adanya gangguan dari pihak-pihak yang ingin mengagalkan.
“Khususnya tentang hasutan kepada pemilih agar tidak menggunakan hak pilihnya atau menggunakan hak pilih dengan cara tertentu, sehingga suara menjadi tidak sah atau memilih calon tertentu. Yang lebih penting lagi, masyarakat jangan salah memilih pemimpin,” pungkas Rene. (Sofyan)