BERITA JAKARTA – Ada yang menggelitik dibenak dan hati yang terdalam membaca judul salah satu portal media online yang sangat viral soal video Presiden Joko Widodo (Jokowi), terlihat murung saat Sidang Paripurna DPR-RI. Tak ada tepuk tangan saat namanya disebut.
Hal itu, diungkapkan pengamat politik, Samuel F Silaen yang kembali mengingat 10 tahun lalu, ketika sang Walikota Solo yang fenomenal itu berkunjung dan bergurau ke Ibukota Jakarta dengan pencapaiannya di Kota Solo, termasuk membawa mobil Esemka karya anak bangsa.
“Itulah taglinenya hingga merasuki pikiran rakyat Indonesia. Sekaligus Ibukota yang juga sudah berhasil dia pindahkan ke IKN Kalimantan Timur,” seloroh Samuel kepada Matafakta.com, Sabtu (5/10/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ini hanyalah, sambung Silaen, kilas balik dari memorinya kenapa juga ‘Jokowi adalah kita’ itu dia lupakan begitu cepat dan beralih ke Jokowi adalah dinasti. Ini sungguh diluar nalar alam pikirannya hingga kini, nama yang begitu membumi hingga hampir hilang ditelan bumi.
“Dan hampir- hampir sudah tidak bersisa, kecuali bagi segelintir orang atau kelompok yang dia berikan kesempatan ‘merampok’ sumber daya alam yang terkandung di bumi Nusantara ini,” sesal Silaen.
Bila ada kesempatan, kata Silaen, sedikit waktu ingin bertanya langsung kepada beliau apa yang melatarbelakangi lahirnya tirani atau pemikiran dinasti politik yang hanya untuk urusan kepentingan politik sempit dan picik.
“Sebab jauh lebih baik menjaga nama baik kata kitab suci nama baik itu lebih berharga dari intan, emas, berlian, sebab aksesoris duniawi itu hanya sementara adanya,” kutip Silaen.
Kini nama Jokowi dan keluarganya mendapat semacam kutuk, hinaan dari berbagai kalangan rakyat Indonesia. Baik yang terucap secara langsung maupun tidak langsung, terbuka dan ataupun tertutup. Ingatlah bahwa manusia itu terdiri dari tubuh, jiwa dan roh.
“Mungkin saja mulut rakyat Indonesia tidak berucap karena pandai menahan pahit getirnya kehidupan yang ditimbulkan oleh kebijakan Pemerintah dibawah rezim Jokowi, maka yang berdoa dan berkomunikasi kepada Tuhan adalah jiwa dan rohnya,” jelas Silaen.
Dalam pesan kitab suci bahwa ketika roh manusia yang berkeluh kesah atau berdoa serta berkomunikasi dengan penciptanya akibat ‘cawe-cawe’ atau kezaliman penguasa dalam menjalankan roda pemerintahan maka lambat atau cepat penghakiman akan tiba meskipun secara parsial.
“Akibatnya ialah bila Tuhan yang bertindak maka siapakah yang dapat melawan? Ini Nats kitab suci jelas terbukti dari waktu ke waktu,” kutip Silaen lagi.
Sekarang apa yang ditabur oleh Jokowi bersama antek-anteknya sebagai penguasa zholim akan dihukum itu ialah pemimpinnya dan itu jelas, karena itu pemimpin tidak boleh salah mengambil keputusan atas nasib orang banyak.
“Misalnya Progam Strategis Nasional atau PSN mengusir rakyat Indonesia seperti yang dilakukan oleh penjajah. Artinya apa? Pemerintah jadi penjajah atas rakyatnya. Ini sesuatu yang sangat mengerikan,” ungkap Silaen.
Bila banyak membaca literasi wisdom of leadership dunia, begini ceritanya: seorang kakek dan nenek yang hidup di suatu daerah tertentu dibelahan dunia, mendapati lahan areal persawahan, kebun atau tanahnya ada ditemukan sumber migas atau dan lain sebagainya.
“Maka sang kakek dan nenek mendapat kekayaan yang sangat melimpah, dia mendapat saham dan seterusnya, bukan digusur atas nama Negara, bukan!!,” kritik Silaen.
Disinilah, tambah Silaen, fungsi dan kehadiran Negara dan pemimpin bijaksana untuk memberikan perlindungan dan jaminan bahwa mereka yang sudah seharusnya mendapatkan manfaat dan seterusnya.
“Bukan malah jadi pelindung dan penjamin dari perampokan dan penggusuran yang ingin menguasai sumber daya alam yang terkandung diperut bumi Indonesia ini,” pungkasnya. (Sofyan)