BERITA JAKARTA – Pertarungan politik di Provinsi Jawa, dengan jumlah penduduk yang sangat besar, menjadi ajang persaingan sengit antar partai politik, baik yang berada dalam koalisi maupun di luar koalisi.
Hal tersebut, dikatakan Pengamat Politik, Samuel F Silaen, ketika berbincang ringan dengan Matafakta.com, menyoroti perkembangan politik menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
“Persaingan semakin memanas menjelang Pilkada 2024, terutama di wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten yang secara historis telah menjadi medan pertempuran politik yang strategis,” terang Samuel, Jumat (16/8/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dikatakan Samuel, Jawa Barat, dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia mencapai sekitar 46 juta jiwa, selama ini dikenal sebagai “kandang kuning” atau basis kuat Partai Golkar. Dan ini, sudah berlangsung sejak era Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
“Di Banten, situasinya tidak jauh berbeda, dengan dominasi politik yang kuat dari klan Atut Chosiyah yang memiliki akar kuat di Partai berlambang pohon beringin ini. Namun, posisi strategis Partai Golkar di wilayah ini berpotensi tergusur,” kata Silaen.
“Jika Ridwan Kamil yang saat ini merupakan pengurus sekaligus kader Partai Golkar dan juga inkumben Gubernur Jawa Barat, dipindahkan ke Jakarta, maka Golkar akan kehilangan salah satu lumbung suaranya di pertarungan politik 2029,” tambah Alumni Lemhanas Pemuda 2009 ini.
Lebih lanjut, Silaen menambahkan, bahwa ada isu lain yang perlu diperhatikan. Ada informasi beredar secara bisik-bisik tetangga bahwa Banten juga dipaksa dilepas dari kekuasaan klan Atut Chosiyah yang akan diteruskan oleh Airin Rachmi Diany.
“Jika isue ini benar, maka Partai Golkar bisa menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan kekuasaan mereka diwilayah Provinsi Banten. Potensi kerugian ini semakin besar jika dikaitkan dengan dugaan adanya sandera politik oleh penguasa saat ini,” imbuhnya.
“Golkar yang akan paling dirugikan berkali-kali dalam Pilkada serentak 2024 ini. Beberapa lumbung suaranya harus dilepas ‘terpaksa’, termasuk di Provinsi Sumatera Utara, dimana mantan Wakil Gubernur dari Golkar juga tidak ditugaskan untuk mengamankan suara di sana pada 2024 nanti,” sambung Silaen.
Pertanyaan yang mengemuka adalah mengapa Partai Golkar seolah rela melepas basis-basis suara yang sudah mereka bangun hanya untuk mengamankan satu atau beberapa oknum petinggi Partai?
“Golkar terlihat bersedia menukar kantong-kantong basis suaranya yang kemungkinan besar mereka dapat menangkan, untuk memindahkan pertarungan ke tempat yang belum tentu mereka menangi,” jelas Silaen.
Situasi ini, menurut Silaen, harus menjadi perhatian serius bagi Partai Golkar. Basis suara mereka di Jawa yang telah lama menjadi kekuatan utama, kini tampaknya sedang diincar oleh partai politik lain yang berupaya memanfaatkan situasi untuk meraih keuntungan dalam Pemilu 2029.
“Ini perlu dicemaskan oleh Partai Golkar demi mengamankan basis suaranya yang sekarang sepertinya sedang diobok-obok oleh partai politik tertentu dengan menggunakan tangan ‘Pak Lurah’ untuk memuluskan niat menguasai kantong suara Golkar di 2029,” pungkasnya.
Pertarungan politik di Jawa ini tentu akan menjadi salah satu isu yang paling menarik untuk diamati menjelang Pilkada 2024. Bagaimana Partai Golkar dan partai-partai lain mengatur strategi mereka untuk merebut hati pemilih di wilayah ini akan sangat menentukan peta politik nasional ke depan. (Indra)