BERITA JAKARTA – Fenomena sejumlah oknum Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta enggan bersidang bukan merupakan hal yang aneh.
Sikap individu Jaksa kian membuktikan bahwa sistem Peradilan di Negeri ini jauh dari azas cepat, sederhana dan berbiaya ringan, ibarat pepatah “tong kosong nyaring bunyinya”.
Meski demikian, tidak ada langkah tegas dan konkrit dari pimpinan Kejaksaan RI seolah hal tersebut adalah lazim untuk menutupi atau memerangai indispliner oknum Jaksa Kejati DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebaliknya, para oknum Jaksa lebih cenderung memilih untuk mendelegasikan penanganan perkara pada Jaksa di Kejaksaan Negeri (Kejari) seperti diwilayah Jakarta Utara, Barat, Timur, Selatan dan Jakarta Pusat.
Alasannya pun cukup klasik yakni mulai dari keterbatasan personil hingga keterbatasan waktu untuk bersidang.
Akan tetapi sebaliknya, jika perkara yang akan disidangkan tersebut menarik animo public atau sarat intervensi para pihak berperkara, oknum Jaksa itupun bersikap SIAGA alias “Siap Antar Jaga”.
Menanggapi fenomena tersebut, Pakar Hukum Pidana, Dr. Abdul Fickar Hadjar mengatakan, prilaku ini merupakan gejala kecenderungan kekuasaan dari birokrasi Pemerintahan.
“Disamping berlakunya birokrasi atasan bawahan juga terselip motif mencari keuntungan, begitulah yang terjadi,” ucap Fickar kerap disapa saat dimintai tanggapan soal oknum Jaksa ogah bersidang, Kamis (11/4/2024).
Untuk itu, Fickar menekankan musti dihilangkan pengertian “perkara basah tidak basah” serta meningkatkan peran pengawasan antara Jaksa dengan pihak berperkara guna meminimal traksaksi gelap.
“Situasi inilah yang merusak sistem peradilan kita,” pungkas Fickar yang selalu aktif menyoroti perilaku penegak hukum. (Sofyan)