BERITA JAKARTA – Tak kunjung tuntas penyidikan dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terhadap mantan Ketua DPR-RI, Setyo Novanto terkait korupsi KTP Elektronik, LP3HI mempraperadilkan Bareskim Polri ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Dalam gugatannya, LP3HI mempersoalkan tindak pidana asal atau predicate crime dari TPPU kasus e-KTP yang menjerat Setya Novanto selaku Penyelenggara Negara dengan profil kekayaan yang tidak wajar selama periode 2009-2018.
Penyidikan itu, dilakukan oleh Polisi berdasarkan pidana korupsi e-KTP yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam perkara pokoknya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, telah menjatuhkan putusan Nomor: 130/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Jkt.Pst atas nama terdakwa Setya Novanto pada 24 April 2018 yang telah berkekuatan hukum tetap.
Majelis Hakim Tipikor, telah menjatuhkan hukuman vonis 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta kepada Setya Novanto serta diwajibkan mengembalikan uang yang telah dikorupsi sebesar 7,3 juta dollar Amerika Serikat (AS) dikurangi Rp5 miliar yang telah dikembalikan.
“Bahwa atas penyelidikan dan penyidikan oleh termohon atau polisi atas perkara a quo yang hingga saat ini sudah berlangsung lebih dari 5 tahun namun penangannya terkesan berlarut-larut dan belum ada perkembangan berarti,” jelas Wakil Ketua LP3HI, Kurniawan Adi Nugroho, Selasa (27/2/2024).
Sehingga, lanjut Kurniawan, haruslah dinyatakan termohon atau polisi telah melakukan penghentian penyidikan secara materiil dan diam-diam atas tindak pidana korupsi yang dilakukan Setya Novanto atau biasa disapa Setnov.
“Oleh karena termohon telah melakukan penghentian penyidikan maka sewajarnya jika PN Jakarta Selatan menyatakan tidak sah dan melawan hukum,” ucapnya dihadapan Hakim Tunggal, Samuel Ginting.
Bahwa, penyidikan tersebut berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/745/VI/2018/Bareskrim, tanggal 6 Juni 2018. Terhadap penanganan perkara tersebut sudah dilakukan pemeriksaan saksi-saksi diantaranya, Diesti Astriani, Dwina Michaella, Reza Herwindo dan Setya Novanto.
“Dimana dari hasil pemeriksaan saksi diperoleh fakta-fakta bahwa tindak pidana terkait dengan perkara a quo adalah dugaan tindak pidana pencucian uang dengan perkara pokok korupsi dengan cara PT. Murakabi Sejahtera yang merupakan salah satu konsorsium yang ikut dalam proses pelelangan tender proyek e-KTP,” ungkapnya.
“Dan PT. Murakabi Sejahtera sengaja dibentuk untuk mendampingi konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia atau PNRI yang akhirnya dimenangkan dalam proses pelelangan tender proyek e-KTP tahun 2011,” tambahnya.
Masih kata Kurniawan, di dalam pelelangan telah diatur untuk memenangi konsorsium PNRI dimana pada Juni 2011 Gamawan Fauzi (Menteri Dalam Negeri pada saat itu) menetapkan PNRI sebagai pemenang tender eKTP,” ulasnya.
Walaupun, sambung Kurniawan, penetapan pemenang lelang digugat namun Sugiharto tetap menunjuk konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang, sehingga ditaksir merugikan keuangan negara hingga Rp2,3 trilliun.
LP3HI menyebut atas penyelidikan dan penyidikan oleh Termohon (polisi) atas perkara a quo yang hingga kini sudah berlangsung lebih dari 5 tahun, namun penanganannya terkesan berlarut-larut serta belum ada perkembangan penanganan perkara yang bearti.
“Sehingga haruslah dinyatakan Termohon (polisi) telah melakukan penghentian penyidikan secara materiil dan diam-diam atas tindak pidana pencucian uang dari pokok tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Setya Novanto selaku penyelenggara negara,” pungkasnya. (Sofyan)