BERITA JAKARTA – Opsi para petinggi di Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menghukum oknum Jaksa nakal yang melakukan tindak pidana melalui jalur sidang etik diduga sebagai posisi “tawar”.
Sebab dengan sidang etika merupakan cara ampuh untuk menghidari dari sorotan publik serta “menyelamatkan” oknum Jaksa nakal dari hukuman pidana.
Misalnya, dalam kasus dugaan penerimaan akomodasi penginapan dan tiket nonton Moto-GP Mandalika dari salah satu BUMN, bekas Komisioner KPK, Lili Pintauli Siregar memilih mundur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mundurnya Lili Pintauli Siregar seiring dengan munculnya jadwal sidang etik oleh Dewan Pengawas Komisi Pemberatasan Korupsi (DP-KPK).
Dengan mundurnya Lili Pintauli Siregar sebagai Komisioner, maka KPK menduga kasusnya telah rampung.
Begitu pun dengan kasus Raimel Jesaja, mantan Direktur Ekonomi dan Keuangan pada Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel) Kejaksaan Agung (Kejagung).
Raimel diduga menerima suap dari pengusaha tambang saat dirinya menjabat sebaga Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulawesi Utara (Sultra).
Singkat cerita, setelah melalui persidangan etik oleh Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) Kejagung, maka bekas Kajari Jakarta Selatan itu pun dijatuhkan hukuman berupa pencopotan sebagai Jaksa.
Dalam penilaian Pakar Hukum Pidana dari Univetsitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta, Prof Mudzakkir mengatakan, gelagat penyelesaian pelanggaran oknum Jaksa diselesaikan dengan “cara-cara lain”
“Misalnya oknum Komisioner KPK yang menerima gratifikasi ketika nonton Moto-GP di Lombok diselesaikan melalui sidang etik. Sebelum sidang etik mengundurkan diri dan kasusnya dianggap selesai,” ucap Mudzakkir, Senin (21/8/2023).
Sehingga Mudzakkir menganggap hal wajar penegak hukum kerap melakukan sidang etik terhadap oknum instansi penegak hukum. “Istilahnya diselesaikan dengan hukum adat,” sindirnya.
Penyelesaian masalah dengan melakukan pendekatan sidang etik adalah tindakan tidak mendidik kepada masyarakat.
“Sidang etik bisa melakukan pemecatan akan tetapi pemecatan tidak ada hubungannya dengan pengenaan sanksi pidana,” beber dia.
Muzakkir berpendapat langkah sidang etik adalah cara tidak fair dan tidak Equality Before The Law.
“Dalam kasus Hakim Agung diselesaikan dengan hukuman pidana, tidak diselesaikan dengan hukuman adminitrasi atau hukum kode etik,” jelasnya.
Menjadi konsekuensi logika jika penegak hukum menuntaskan hukuman pelanggar pidana dengan istilah “jeruk makan jeruk” dengan mencari solusi dengan sanksi adminitrasi atau sanksi etik.
“Saya berpendapat kalau tingkat pelanggaranya telah memasuki ranah pidana, semestinya Jaksa tidak perlu ragu-ragu untuk memproses dan memasukan dia kedalam proses hukum pidana,” tegasnya.
Jika jaksa ragu atau tidak berani melakukan proses hukum, lembaga Kejaksaan menyerahkan kasusnya secara resmi kepada KPK. “Agar clear penangannya,” pungkas Muzakkir. (Sofyan)