BERITA BEKASI – Meski banyak menuai pro kontra atas stetmen Advokat Jhonson Purba, SH, MH bahwa “KPK Lecehkan Profesi Advokat” terkait penahanan Advokat Lukas Enembe yang dipakaikan rompi orange tanpa lebih dulu melepas jubah toga sebagai baju kebesaran yang memiliki makna dan filosofi.
“Bagi mahasiswa butuh kuliah bertahun-tahun lulus menimba ilmu untuk memakai baju toga saat wisuda. Mulai dari warna, topi hingga pemindahan tali dari kiri ke kanan dalam prosesi wisuda ada maknanya,” tegas Jhonson kepada Matafakta.com, Senin (22/5/2023).
Begitu juga, kata Jhonson, baik Jaksa maupun Hakim dan Panitera dalam sidang Pidana wajib memakai pakaian sidang (toga) yang diatur dalam Pasal 230 ayat (2) KUHP yang berbunyi: Dalam ruang sidang, Hakim, Penuntut Umum, Penasihat Hukum dan Panitera mengenakan pakaian sidang dan atribut masing-masing.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jadi, lanjut Jhonson, bukan tanpa alasan dirinya selaku Advokat memberikan stetmen melihat pemandangan yang kurang nyaman atas tindakkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap profesi Advokat (pengacara). Terlebih lagi seorang Lukas Enembe sebagai Advokat sudah menjadi tugasnya membela klainnya.
“Pembela klainnya bukan berarti perintang atau menghalang-halangi, karena sudah menjadi tugasnya. KPK jika punya bukti kuat terhadap klien yang dibelanya silahkan aja proses hukumnya dilanjutkan, tanpa harus melakukan penangkapan terhadap Advokat,” jelas Jhonson.
Jhonson mengaku, prihatin melihat keadaan dunia Advokat sekarang dimana sudah tidak ada lagi kekompakan untuk sama-sama kita menjaga marwah profesi, sehingga kedepan dikhwatirkan profesi Advokat sudah tidak lagi berwibawa atau dihargai dengan sesama Penegak Hukum.
“Saya bersikap tidak ada maksud dan tujuan lain melainkan kecintaan saya terhadap profesi Advokat. Karena saya sendiri adalah seorang Advokat yang rasa-rasanya tidak bisa menerima pemandangan seperti itu, terlebih lagi ditonton publik,” ucap Jhonson kecewa.
Selain itu, lanjut Jhonson, Organisasi Advokat sekarang mudah menerima anggota seperti pensiunan yang sudah berusia lanjut 60 dengan bermodal gelar Sarjana Hukum (SH) yang tidak memberikan ruang Advokat muda yang sudah menjadi cita-citanya sejak masuk ke perguruan tinggi.
“Buruh pabrik saja ada batas usia jadi karyawan disana. Sementara di Organisasi Advokat orang yang sudah pensiun waktunya istirahat dengan mudahnya menjadi Advokat hanya karena bergelar SH. Inilah yg membuat Advokat tidak dihargai dengan sesama lembaga Penegak Hukum,” ulas Jhonson.
Seharusnya, tambah Jhonson Organisasi Advokat memberikan batas usia untuk menjadi seorang Advokat. Berikan kesempatan kepada generasi-generasi muda sebagai generasi penerus untuk mencapai cita-cita dan harapan mereka untuk berkarya dan berkembang.
“Saya berharap ini menjadi perhatian Organisasi Advokat baik pembelaan terhadap Advokat maupun profesi Advokat. Massa Organisasi Advokat kalah dengan Organisasi lain seperti Ormas, LSM dan Wartawan bisa saling membela,” pungkas Jhonson. (Indra)