BERITA JAKARTA – Belajar dari pengalaman Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU TPK) dan pembentukan Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam UU tersebut tak mencantum pasal berlaku surut. Akibatnya, KPK tak bisa menjerat mantan Presiden Soeharto.
“Padahal UU TPK dan dibentuknya Lembaga KPK mengandung spirit agar mantan Presiden bisa diadili oleh suatu komisi khusus yang independen yang mempunyai kewenangan besar, termasuk penyadapan,” terang Koordinator Siaga 98, Hasanuddin, Rabu (8/3/2023).
Sebab, sambung Hasanuddin, penegak hukum konvensional tak mungkin menjerat seorang Presiden yang telah berkuasa penuh selama 32 tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Akibatnya, kata dia, tak bisa bekerja mengusut kejahatan korupsi sebelum pembentukannya, maka Presiden Soeharto lolos jerat KPK.
“Dari sinilah pemberantasan korupsi akhirnya berputar-putar tak jelas muara dan hilir pemberantasannya, hingga adigium lord acton menjadi lelucon,” sindirnya.
“Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely yang absolut malah hukumnya,” tambah Hasanuddin.
Hasanuddin juga mempertanyakan perkembangan rancangan undang-undang perampasan aset yang mulai muncul kembali setelah viralnya pejabat Pajak RAT berharta tak wajar. Nasibnya tentu akan sama.
“RUU itu (perampasan aset), dipastikan senasib dengan pembentukan institusi KPK. Dengan RUU ini, perampasan aset tentu tak bisa dilakukan sebelum UU ini disahkan,” jelasnya.
Ia pun menduga skenario “tak berlaku surut” nanti juga akan diberlakukan. Sebab azas non-retroaktif, hukum yang baru dibuat sekarang, tidak akan menghukum perbuatan dimasa lalu.
“Bagaimana mengatasi hal ini?. Kita sudah punya UU TPK dan UU TPPU,” urai Hasanuddin.
Menurutnya, harta tak wajar bisa dijerat pidana dan dirampas negara harta bendanya. Dengan senjata pembuktian terbalik dan keberadaan KPK-PPATK maka harta tak wajar bisa ditemukan indikasi dan asal usulnya.
“Pidana asalnya dapat temukan dengan kewenangan dan instrumen yang dimiliki KPK untuk melengkapi kesatuan penerapan UU TPPU dengan UU TPK,” imbuhnya.
Selain pidana pokok pemenjaraan juga didapat dilakukan perampasan melalui penerapan pidana tambahan perampasan harta benda. Tak perlu menunggu RUU Perampasan Asset dan illcitt enrichment.
Sebab, selalu saja aturan hukum kita akan dibuat tak sempurna, dibuat celah berkelit dan jalan tikus kaburnya koruptor.
“Pembuat undang-undang dan ahli hukum jangan terus-menerus membuat ruang dan celah ketaksempurnaan sehingga Indonesia tak pernah tuntas memberantas korupsi,” pungkasnya. (Sofyan)