BERITA YOGYAKARTA – Pengamat media sosial Institute for Digital Democracy (IDD) Yogyakarta, Bambang Arianto, menilai bahwa fenomena pamer kekayaan (flexing) di media sosial (medsos) menjadi hal lumrah saat ini di era digital.
“Kita juga tidak berhak melarang seseorang untuk pamer kekayaan di media sosialnya masing-masing. Pasalnya, setiap orang punya kepentingan masing-masing dalam mempergunakan media social,” terang Bambang, Jumat (3/3/2023).
Saat ini, kata Bambang, media sosial tidak hanya untuk mencari informasi dan komunikasi, tapi juga untuk interaksi sosial, seperti untuk membangun pencitraan dan eksistensi diri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seseorang yang menggunakan media sosial, biasanya akan terpacu untuk menampilkan apapun yang ia lakukan dan miliki termasuk perolehan harta kekayaan.
“Ada yang merasa bahwa dengan mengunggah konten kekayaan di media sosial akan merasa puas dan menjadi suatu kebanggaan tersendiri,” ujarnya.
Hal itu tidak salah karena memang kehadiran media sosial itu menciptakan ruang baru bagi kita untuk menampilkan eksistensi diri.
“Asalkan cara mengunggah konten di media sosial tetap santun dan kreatif,” imbuh pengamat yang selalu kritis dengan perkembangan media social ini.
Masalahnya tidak semua pengguna media sosial bisa menciptakan konten kreatif. Sehingga ketika ingin mengunggah konten tentang kekayaan pribadi malah justru jatuhnya seperti seseorang yang sedang pamer kekayaan.
“Sehingga banyak yang salah kaprah kalau media sosial itu seperti rumah milik pribadi,” ucapnya.
Padahal, tambah Bambang, meskipun aktivitas media sosial itu privat, tapi setiap konten yang kita unggah bisa diketahui oleh sesama pengguna baik itu karena pertemanan maupun pengikut (follower).
“Oleh sebab itu, kita mengajak agar para pengguna media sosial (warganet) bisa memproduksi konten kreatif yang mendidik, sehingga konten yang diciptakan tidak merupakan konten yang pamer harta (flexing),” pungkas Bambang. (Indra)