BERITA JAKARTA – Para korban ramai-ramai menuntut Minna Padi untuk mengembalikan dana mereka juga menuntut kejelasan dan ketegasan dari lembaga Otorisasi Jasa Keuangan (OJK). Pasalnya, 23 November 2022 lalu, setelah 3 tahun, ada enam kali pertemuan dengan pejabat tinggi OJK yang selalu berbeda-beda.
Para korban investasi Minna Padi masih memepertanyakan tentang kepastian hukum dan dan perlindungan hukum dari lembaga OJK atas dampak dari peraturan OJK itu sendiri.
Mediasi yang berlangsung antara OJK, korban Mina Padi dan Minna Padi Aset Manajemen, bukan membuka jalan perdamaian dan solusi malah berakhir ricuh akibat tidak adanya kejelasan dan kepastian OJK dalam mediasi tersebut yang mengakibatkan keributan antara korban dan pihak Minna Padi. Alhasil, mediasi didihentikan mediator OJK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut korban Minna Padi, JE, keributan saat mediasi 23 November 2022 melalui daring tersebut berawal dari pembahasan yang menanyakan kepastian perbedaan antara POJK23/POJK.04/2016 Pasal 47b dan 48b dan apa perbedaan antara Nilai Aktiva Bersih Pembubaran dan Nilai Aktiva Bersih Likuidasi yang sangat jelas dibedakan diaturan OJK tersebut.
Berulang kali pertanyaan tersebut ditanyakan ke OJK dan sejak 2019 sampai hari ini tidak ada satupun pengawas dan pegawai OJK yang dapat menjelaskan secara pasti dan bisa memberikan surat pernyataan atas pertanyaan tersebut.
Menurutnya, ketegasan peraturan tersebut yang sangat menentukan dan membedakan apakah korban Minna Padi akan kehilangan triliunan rupiah atau puluhan miliar, karena kepastian hukum atas peraturan tersebut menjadi pegangan korban Minna Padi untuk mendapatkan hak mereka kembali.
Tidak hanya JE korban Minna Padi ER juga mengeluhkan mediasi yang terjadi nihil, menurutnya OJK sendiri bingung dan ragu atas POJK tersebut, sehingga pihak Minna Padi yang diwakili Direktur Minna Padi Djajadi menerjemahkan aturan OJK sesuai kemauan mereka dan merugikan nasabah. Pihak Minna Padi mengaku semua ini dilakukan dalam pengawasan dan persetujuan OJK.
Dikatakan ER, POJK12/POJK/06/2016 adalah dasar NAB likuidasi atau pembubaran yang dipakai untuk menghitung dana nasabah yang harus dikembalikan. Sebagai contoh NAB pembubaran atas salah satu reksadana Minna Padi Amanah Syariah adalah Rp1,212 pada tanggal 21 November 2022.
“Sedangkan NAB likuidasi adalah Rp198 pada tanggal 30 September 2022. Apabila seorang nasabah memiliki 1,000,000 unit reksadana maka perbedaan antara NAB pembubaran dan likuidasi adalah Rp1,014,000,000,” jelas ER.
Menanggapi hal tersebut, Penasihat Hukum korban dari LQ Indonesia Law Firm menyesali keputusan mediator OJK karena inikan judulnya mediasi, OJK sebagai mediator, seharusnya OJK tidak membubarkan pertemuan secara sepihak, gunanya mediator dipertemuan untuk mediasi kalau begini saja dibubarkan, untuk apa ada mediator? Untuk apa ada peraturan?.
“Yang bikin peraturan OJK yang bingung OJK yang mengundang mediasi OJK yang membubarkan mediasinya juga OJK, jadi korban ini mau diapakan nasibnya yang tegas dong kalau bikin peraturan ya bertanggung jawab sama aturan yang dibuatnya jangan korban dibuat galau,” tutup Advokat dari LQ Indonesia Law Firm.
Sebelumnya, Founder LQ Indonesia Law Firm, Advokat Alvin Lim, SH, MH, sudah berulang kali mengkritik kebijakan Pemerintah yang mana sering merugikan konsumen dan masyarakat.
“OJK layaknya macan ompong, karena sebagai pengawas perusahaan keuangan mereka punya kewenangan, namun adanya oknum OJK atau ketidak mampuan OJK dalam mengawasi, sehingga masyarakat acap kali menjadi korban,” kata Alvin.
Disinilah LQ Indonesia Law Firm memberikan konsultasi dan pendampingan hukum kepada para korban masyarakat yang terdampak akibat peraturan OJK yang blunder.
Menurut hemat saya, tambah Alvin, kurangnya pengawasan OJK terutama laporan keuangan yang tidak di audit oleh OJK menjadi celah masuk fraud dan tindakan kriminal lainnya.
“Para korban berharap OJK bisa memberikan solusi karena kerugian yang dialami para korban adalah akibat peraturan yang blunder, jika tidak maka terbuka opsi untuk mengugat Class Action OJK atas kelalaian dan kurangnya pengawasan,” pungkas Alvin. (Sofyan)