BERITA JAKARTA – Tuntutan pidana mati yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap terdakwa Heru Hidayat dalam kasus korupsi PT. Asabri di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, dinilai sebagai hal yang membingungkan.
Pasalnya, perbuatan yang dilakukan pemilik PT. Trada Alam Minera (TAM) merupakan hubungan bisnis semata.
“Ini yang jadi masalah. Dimana letak hubungan bisnis namun dikooptasi sebagai perbuatan tindak pidana korupsi,” ujar pakar hukum pidana, Prof. Mudzakir seusai memberikan keterangan sebagai ahli pidana, Ardi Bakrie dan Nia Ramadhani, Kamis (9/12/2021) siang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kemudian alasan lainnya, sambung Mudzakir, menjelaskan, kalau latar belakang perbuatan yang dilakukan terdakwa Heru Hidayat sebagai bisnis, semustinya parameter juga bisnis.
“Ketika sebuah perusahaan anak BUMN mengalami kerugian kenapa harus dinyatakan sebagai kerugian negara dan mengapa harus dipidana mati yang menurut saya harus ditinjau kembali,” tuturnya.
Sebaliknya, dia mencontohkan kasus pidana korupsi pengadaan paket sembako di Kementerian Sosia oleh mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara dilakukan “pengkhitanan” tapi Jaksa tidak memberikan pidana mati.
“Dan jika dihubungkan dengan perusahaan BUMN yang diduga mengalami kerugian dan kemudian dikenakan pidana mati, dimana letak hubungan bisnisnya?,” tanya Mudzakir.
Sementara, alasan Jaksa menuntut pidana mati terhadap terdakwa Heru Hidayat karena disebabkan negara mengalami kerugian yang cukup fantastis yakni sebesar Rp22,7 triliun.
“Kalau negara mengalami kerugian dalam keuangan mengapa harus dituntut pidana mati?. Ini bisnis. Kalau dia tetap dipidana mati kemudian kerugian keuangan negara tidak kembali, bagaimana?,” pungkas Mudzakir. (Sofyan)