BERITA JAKARTA – Keniscayaan penerapan hukum Restorative Justice (RJ) yakni, pendekatan yang ingin mengurangi kejahatan dengan menggelar pertemuan antara korban dan terduga pelaku tindak pidana, sangat mendesak diperlukan dan menjadi solusi jitu di dalam sistem Peradilan di Indonesia.
Pasalnya, saat ini keterisian warga binaan diberbagai Lembaga Pemasyarakatan (LP) saat ini, merupakan akibat tidak diterapkannya keadilan restoratif secara menyeluruh.
Hal tersebut, dikemukakan Asisten Tindak Pidana Umum (Aspidum) Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta, Anang Supriatna, SH, MH dalam acarà “Jaksa Menyapa” dengan materi “Keadilan Restoratif” sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Tindak Pidana, Kamis (4/11/2021).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurutnya, RJ merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.
“Artinya, tidak berkepentingan atau berketerkaitan dengan tersangka korban atau pun perkara, baik secara pribadi, profesi, langsung ataupun tidak,” kata mantan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan.
Dia mengungkapkan, peran Jaksa tersebut telah tertuang dalam Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020, tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
“Adapun Perja tersebut mengakomidir penerapan Keadilan Restoratif dalam penyelesaian perkara pidana melalui proses diluar Pengadilan dengan proses perdamaian,” jelasnya.
Sedangkan, tambah Anang, proses perdamaian dilakukan para pihak melalui musyarawah untuk mufakat tanpa intimidasi, tanpa paksaan, tanpa tekanan dan secara sukarela.
Anang juga menjelaskan, proses perdamaian dan pemenuhan kewajiban dilaksanakan dalam waktu paling lama atau maksimal 14 hari sejak penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti.
“Atau istilahnya tahap dua yaitu penyerahan tersangka dan barang bukti,” pungkasnya. (Sofyan)