BERITA JAKARTA – Perang hasil survei akan makin masif terjadi guna menaikkan rating sosok atau figur seseorang demi mendapatkan dukungan politis. Perebutan kekuasaan politik diera kemajuan teknologi informasi tak dapat dipisahkan dari kehidupan demokrasi diruang digital. Hal tersebut dikatakan pengamat politik Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (Laksamana), Samuel F. Silaen.
“Opini bebas publik bertebaran diruang sosial digital. Ada dugaan bahwa survei opini publik seperti ‘distel’ sebagai sarana ruang pencitraan yang giring lewat hasil survei yang sedang dimainkan oleh para ahli yang berpengalaman untuk mendapatkan akseptabilitas,” kata Silean kepada Matafakta.com, Selasa (9/3/2021).
Menurut Silaen, pertarungan ide dan gagasan hal yang baik guna membedah sosok figur, dengan tujuan cek respon penerimaan publik terhadap tokoh atau sosok tertentu sah – sah saja dimainkan oleh lembaga survei, termasuk para ‘dukun- dukun’ politik yang lumrah terjadi di alam demokrasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Orang populer tidak sama dengan tingkat keterpilihannya. Saat ini bagaimana cara agar tokoh atau figur seseorang itu memiliki tingkat keterpilihan atau elektabilitas,” jelasnya.
Hasil survei, sambung Silaen, bagian dari pertarungan opini kalangan elite dalam menggiring persepsi publik melalui dunia maya atau digital yang dekat dengan masyarakat. Ini dilakukan dalam rangka memasarkan ‘produknya’. Setelah itu, dicek kembali bagaimana tingkat penerimaan publik terhadap tokoh atau sosok yang dimaksud.
“Yang namanya berusaha menjual ‘produk’ ya tergantung pasar juga sih, ibarat ruang digital itu, pasar bebas tempat berdagang publik, sama halnya tempat menjual berbagai jenis kebutuhan atau kepentingan dari sisi customer dan supplier yang penting tidak menjual barang yang dilarang oleh UU,” imbuhnya.
Survei dilakukan untuk mengetahui pendapat dan tanggapan publik yang disurvei sebagai feedback-nya. Tingkat kepercayaan hasil survei tersebut tergantung ‘brand’ yang melakukannya. Artinya pengalaman dan jam terbang lembaga surveyor itu jadi faktor utama publik bisa jadi percaya atau tidak.
“Jangan heran, semakin maju teknologi maka semakin tinggi juga penyebaran infiltrasi dan intrik yang berkembang diruang publik. Oleh karena itu, masyarakat harus jeli dan jangan mudah percaya gimik – gimik karena itu anggap saja sekedar hiburan, jangan terlalu dianggap serius, supaya tidak stress,” canda Silaen.
Saat ini, tambah Silaen, cukup sulit membedakan mana hoax dan mana bukan hoax akibat melimpahnya informasi yang beredar ditengah masyarakat. Jadi kembali ke diri masing- masing pribadi saja, informasi seperti apa yang dibutuhkan, semua tersedia tinggal klik muncul.
“Intinya, mari kita cerna informasi yang beredar itu dengan baik – baik dan pastikan dari sumber yang jelas, terpercaya dan dapat dipertanggung-jawabkan kesahihannya, jangan mudah terprovokasi atau terpancing oleh informasi hoax yang beredar luas dikehidupan masyarakat,” pungkas Silaen. (Indra)