BERITA JAKARTA – Fenomena Abu Janda jadi polemik sosial, ada apa tentu itu yang jadi pertanyaan publik luas. Saat rasisme bergulir diranah hukum maka banyak pihak yang ikutan ngegass Abu Janda seperti dijadikan target pihak tertentu, karena merasa kebakaran jenggot dengan banyolannya?. Ini butuh pembuktian! Hal itu, dikatakan pengamat politik Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (Laksamana), Samuel F. Silaen.
“Saya pribadi tidak kenal dengan Abu Janda yang punya nama Permadi Arya itu, namun saya kadang tergelitik menonton video dan tulisan yang beredar luas di sosial media, ada kalanya merasa dapat pencerahan atas banyolannya yang lebih pas disebut sebagai kritik sosial atas situasi yang terpolarisasi,” ujar Silaen kepada Matafakta.com, Minggu (31/1/2021).
Menurut Silaen, Abu Janda, anak muda yang cukup cerdas dan berani dalam memotret keadaan sosial yang timpang dan diskriminatif. Cogito ergo sum ini dimiliki oleh setiap orang hanya terkadang tak mampu disampaikan dengan baik dalam konteks berekspresi diruang publik, ada banyak yang diam (silent majority), karena tidak punya keberanian menyatakan pikirannya diruang public.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Sosok Abu Janda berpikir out of the box itu yang saya lihat pada dirinya. Kebanyakan orang diam dan tak suka menentang arus politik, tapi dia berani lakukan meski beresiko. Terlepas apa yang dia sampaikan menuai pro-kontra ditengah masyarakat, dan itu sesuatu banget deh,” puji Silaen.
Abu janda fenomenal karena punya daya kritis yang disampaikan ke sosmed itu menohok ‘kaum’ yang berfikir feodal dan cenderung permisif. Kehadiran Abu Janda dan kawan- kawan seperti Denny Siregar, Ade Armando, Ninoy Karundeng, Birgaldo Sinaga, Rudi S Kamri dan kawan-kawan, minimal dapat memberikan pandangan yang berimbang dari sudut yang berbeda.
“Barisan mereka diatas punya kecenderungan pro Pemerintah, dan banyak juga orang lain yang kontra Pemerintah. Kedua-duanya adalah bagian dari ceck and balance dialam kehidupan demokrasi. Indonesia bukan negara kerajaan atau komunis, apalagi diktator yang haramkan perbedaan atau anti kritik,” jelas Silaen.
Dikatakan Silaen, jika ada yang tidak puas maka harus dikounter dengan pikiran dan diksi yang mencerahkan, bukan dengan pressure polisi apalagi mobilisasi dukungan massa harus tangkap dan lain-lain, itu juga bagian dari anti kritik dan anti sosial. Jika Ambroncius Nababan langsung ditersangkakan karena memenuhi unsur delik hukum formil tentu harus dikawal sebagai pendidikan politik bagi public.
“Sekarang kita harus mendudukkan perkara Abu Janda diatas meja terbuka lalu dibedah bersama, apa yang melatar-belakangi sehingga orang lain ikut merespon dengan sinis bahkan kritikan keras terhadap sesuatu yang ada diruang publik. Apakah ada pihak yang sengaja coba bikin ‘umpan lambung’ berharap ada orang yang terpancing respon negatif, lalu jadi viral,” tanya Silaen.
Semua dapat memberikan kritik dalam kerangka diskursus politik kebangsaan majemuk dengan harapan yang menghasilkan produk kebaikan bersama, ini sama halnya dengan Abu Janda yang ikutan komentar karena sebab akibat, aksi dan reaksi. Waktu sekolah tentu kita sempat belajar hukum archimedes meski tak sama persis kalau diterjemahkan ke dalam ilmu sosial bisa beda, kalau 1+1 harusnya 2, dalam ilmu sosial belum tentu 2.
“Polisi harus tangkap esensi dari perdebatan elite diruang publik, ada apa? jangan karena elite atau tokoh lalu dibiarkan karena merasa sungkan/ngerrii untuk memprosesnya. Jangan tunggu sampai timbul huru hara baru ngeh, dialektika publik harus dijamin kebebasannya sesuai dengan aturan yang berlaku, kepada siapapun dan jangan tebang pilih,” pungkas Silaen (Indra)