BERITA JAKARTA – Rencana penerapan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021, tentang Kejaksaan menuai sorotan. Salah satunya dari Pakar Hukum Pidana, Abdul Fickar Hadjar.
Fickar menilai ada beberapa pasal yang rawan disalahgunakan dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan. Pertama adalah Pasal 8 ayat (5) mengenai Hak Imunitas Jaksa Agung.
Menurut Fickar, imunitas memang diperlukan selama Jaksa menjalankan tugasnya. Namun, jika seorang Jaksa melakukan tindak pidana di luar tugasnya, maka tidak ada alasan untuk memberikan perlindungan hukum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Imunitas itu sepanjang dilakukan dalam menjalankan tugas. Kalau melakukan tindak pidana yang tidak berkaitan dengan tugasnya ya tetap harus diproses hukum,” kata Fickar, Selasa (21/1/2025).
Kemudian, sambung Fickar, Pasal 8B terkait Penggunaan Senjata Api oleh Jaksa, dimana izin penggunaan senjata api oleh Jaksa hanya relevan dalam konteks membela diri.
“Penggunaan senjata api dimaksudkan untuk membela diri dalam keadaan tertekan, bukan untuk gagah-gagahan. Jaksa itu bukan aparatur keamanan,” sindirnya.
Lanjut ke Pasal 11A ayat (1) dan (2) terkait Rangkap Jabatan di Luar Instansi Kejaksaan, Abdul Fickar menekankan pentingnya pelarangan rangkap jabatan bagi Jaksa.
“Rangkap jabatan di luar Kejaksaan itu tidak relevan. Jaksa adalah Aparatur Penegak Hukum (APH), bukan toko ‘palugada’. Hal ini bisa mengganggu integritas tugas utamanya,” tutur Fickar.
Terkait Pasal 30B yang menyebutkan Perluasan Fungsi Intelijen Kejaksaan, Abdul Fickar juga mengkritisi perluasan fungsi Intelijen Kejaksaan yang mencakup kewenangan penyadapan.
“Kewenangan ini hanya sah jika dilakukan dalam konteks pengawasan. Penggunaan di luar itu melanggar hukum,” jelas Fickar.
Sedangkan Pasal 30C huruf A terkait Peninjauan Kembali (PK) oleh Kejaksaan, Fickar menilai tugas ini penting untuk memastikan keadilan. Namun, ia memperingatkan potensi penyalahgunaan kewenangan tersebut.
“PK itu untuk memperbaiki putusan agar sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Jika Jaksa memperdagangkan dakwaan atau tuntutan, itu adalah kejahatan paling keji,” imbuhnya.
Terakhir ada Pasal 35 huruf g terkait Koordinasi, Pengendalian dan Penuntutan Sejak Lidik, yang mana Abdul Fickar menolak perluasan kewenangan Kejaksaan dalam proses Penyelidikan dan Penyidikan.
“Jaksa itu Penuntut Umum, Eksekutor dan Pengawas. Perluasan kewenangan ini terlalu berlebihan,” ujar Fickar.
Terkait berbagai pasal kontroversial ini, Abdul Fickar menekankan perlunya revisi dan evaluasi mendalam agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.
“Kejaksaan perlu fokus pada tugas inti sebagai Penuntut Umum dan Eksekutor, tanpa mengambil alih peran instansi lain,” pungkasnya. (Sofyan)