BERITA JAKARTA – Dugaan keterlibatan oknum pejabat di PT. Bank BNI (Persero) ikut terseret dalam pusaran kasus korupsi Direktur Pengembangan Bisnis PT. Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) Tahun 2019-2020, Sahata Lumbantobing sebesar Rp38,21 miliar, menambah panjang rekam jejak hitam perusahaan milik Negara itu.
Lemahnya pengawasan internal PT. BNI, disebut-sebut sebagai biang keladi penyebab kelalaian yang membuat berulang kali terjerat kasus serupa diberbagai wilayah. Padahal, sebagai bank pelat merah, BNI seharusnya memiliki sistem pengawasan kredit yang ketat, namun seringkali kecolongan oleh praktik-praktik koruptif.
Sebagaimana yang terjadi di Sumatera Selatan (Sumsel) beberapa waktu ke belakang. Setidaknya, tiga kasus besar korupsi melibatkan pejabat BNI yang dinilai mencoreng kredibilitas bank pelat merah ini dan mengancam kepercayaan nasabah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada 15 Desember 2023, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Selatan (Sumsel) menetapkan Andrie Triono, Supervisor Pemasaran BNI Cabang Kayuagung, sebagai tersangka korupsi. Modusnya, adalah memanfaatkan ATM dan layanan mobile banking nasabah untuk kepentingan pribadi yang menyebabkan kerugian hingga Rp6,4 miliar.
Aksi Andrie yang berlangsung sejak 2022 hingga 2023 membuatnya masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sebelum ditangkap di Palembang pada Januari 2024. Pengadilan lalu menjatuhkan vonis 8 tahun penjara atas perbuatannya, setelah terungkap bahwa dana hasil penggelapan digunakan untuk berjudi online.
Tak berhenti disitu, kasus berikutnya menjerat Edwin Herius, mantan pimpinan BNI Cabang Pembantu Muara Dua. Pada 16 Januari 2024. Edwin ditetapkan sebagai tersangka kasus manipulasi data calon debitur Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada 2021-2022. Hakim memvonis Edwin 2 tahun penjara atas tindakannya.
Kemudian kasus korupsi yang melibatkan Weni Aryanti, Supervisor Teller BNI Cabang Palembang yang ditetapkan sebagai tersangka pada 2024. Weni diduga mentransfer dana ke beberapa rekening tanpa setoran uang fisik, menyebabkan kerugian Negara sebesar Rp5,8 miliar.
Meskipun mengklaim dirinya sebagai korban penipuan (hipnotis), Kejaksaan Negeri (Kejari) Palembang tetap menetapkannya sebagai tersangka.
Terbaru, dalam surat dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Prasetya Raharja mengungkapkan, kasus korupsi itu diduga dilakukan bersama-sama, antara lain dengan Ketua Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Dana Karya Toras Sotarduga pada rentang waktu 2016 hingga 2020.
“Korupsi dilakukan dengan merekayasa kegiatan keagenan PT. Mitra Bina Selaras (PT. MBS) dan menerima pembayaran komisi agen dari PT. Jasindo meskipun PT. MBS tidak terdaftar dalam daftar perusahaan asuransi yang resmi,” ucap JPU dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Tipikor Jakarta, Kamis (19/12/2024).
Dengan demikian, JPU menilai perbuatan korupsi itu telah memperkaya Sahata sebesar Rp525,42 juta, Toras Rp7,66 miliar, Kepala Kantor PT. Jasindo Cabang S. Parman Jakarta Tahun 2017-2019, Ari Prabowo Rp23,55 miliar dan Kepala Kantor PT. Jasindo Cabang Pemuda Jakarta Tahun 2018-2020, Mochamad Fauzi Ridwan Rp1,95 miliar.
Kemudian, memperkaya Kepala Kantor PT. Jasindo Cabang Makassar Tahun 2018-2019, Yoki Tri Yuni Rp1,75 miliar, Kepala Kantor PT. Jasindo Cabang Semarang Tahun 201-2021, Umam Tauvik Rp1,43 miliar serta pihak PT. Bank BNI (Persero) sebesar Rp1,34 miliar.
Atas perbuatannya, Sahata terancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor: 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor: 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. (Sofyan)