BERITA JAKARTA – Dugaan arogansi kekuasaan menjelang Pemilu 2024 kian tersaji dihadapan publik. Pasalnya tingkah para petugas partai yang kini menjadi penyelenggara negara, tanpa rasa malu menggunakan fasilitas negara demi syahwat kekuasaan.
Lihat saja penggunaan pesawat kepresidenan, Istana Merdeka dan kendaraan dinas menteri pun diduga digunakan untuk kepentingan parpol.
Untuk diketahui dugaan penggunaan pesawat kepresidenan oleh Presiden Joko Widodo disinyalir untuk kepentingan partai saat deklarasi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di Istana Batu Tulis Bogor, sebagai bakal calon Presiden dari partai PDIP saat libur nasional pada Jumat 21 April 2023.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Usai penugasan Ganjar sebagai bakal calon Presiden oleh Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri, Presiden Jokowi dan Ganjar diduga menggunakan pesawat kepresidenan untuk kembali ke Solo.
Padahal MenPANRB Abdullah Azwar Anas pada 14 April 2023, telah menerbitkan surat edaran tentang larangan para ASN menggunakan kendaraan dinas untuk keperluan pribadi Nomor 7 Tahun 2023. Entah mengapa surat edaran larangan tersebut seolah menjadi penghias ruangan kerja saja.
Kemudian Istana Merdeka pun dijadikan “arena” pertemuan enam Ketua Umum Parpol yang berkoalisi dengan Pemerintah konon membahas langkah politik pasca pengusungan Ganjar Pranowo oleh PDIP, Rabu 2 Mei 2023.
Dan lagi-lagi kendaraan dinas menteri pun ditengarai menjadi saran transportasi menuju Istana Merdeka para petinggi Parpol.
Menurut Pakar Hukum dari Universitas Trisakti, Dr. Abdul Fickar Hadjar mengatakan, hal itu merupakan arogansi kekuasaan. Sebab saat seseorang sudah menjadi pejabat publik maka dia harus berhenti menjadi petugas partai.
“Sebab dia telah menjadi pejabat untuk publik, untuk semua orang bukan hanya untuk partainya atau koalisinya,” ujar Fickar biasa disapa, Rabu (3/5/23).
Fickar menilai memang tidak ada larangan untuk bertemu anggota koalisi, akan tetapi bukan di kantor atau tempat dia bekerja sebagai pejabat publik.
“Karena itu (pertemuan petinggi koalisi) bukan urusan publik melainkan urusannya sebagai petugas Parpol. Lebih tepat pertemuan di kantor sebuah partai,” ulasnya.
“Ini pelajaran menarik, semoga segera disadari oleh pejabat publik kita akan kekhilafan dan kesengajaan perbuatannya yang tidak mendidik,” pungkas Fickar. (Sofyan)