BERITA JAKARTA – Tindakan dan prilaku HRS bikin repot dan sewot pihak penegak hukum dan keamanan setelah mangkir berkali-kali dari panggilan polisi pasca kepulangannya dari pengungsian di Arab Saudi. Hal tersebut dilontarkan pengamat politik Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (Laksamana), Samuel F. Silaen.
“Kini dugaan publik hampir menjadi kenyataan bahwa pelarian dan kepulangannya dibantu oleh orang yang punya kekuatan politik, finansial dan jaringan. Setelah dianggap cukup berhasil apa yang dilakukan HRS sudah menjadi kebenaran,” terang Silaen kepada Matafakta.com, Jumat (11/12/2020).
Silaen berpendapat, diamnya Pemerintah selama ini, karena tidak mau menciptakan kegaduhan politik ditanah air. Selama kurang lebih 3 tahun dibiarkan terus-menerus HRS menyerang dan menyudutkan Pemerintah secara membabi-buta. Semua salah dimata HRS,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Serangan HRS selama ini dianggap sebagai kebenaran yang sudah melekat dibenak pendukung HRS, teori ini lebih dikenal dengan teknik Big Lie atau Kebohongan Besar,” ungkapnya.
Cara kerjanya, sambung Silaen, cukup simple, hanya menyebarluaskan berita bohong melalui media massa sebanyak mungkin dan sesering mungkin hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran. Sederhana namun mematikan.
“Kini penegak hukum dan keamanan, TNI-Polri seperti kerepotan menghadapi tingkah laku HRS dengan mangkir dari pemanggilan Polisi. Hal tersebut terkonfirmasi dan terlihat jelas dari bagaimana ketika polisi antar surat panggilan ke rumah HRS. Polisi dihadang Laskar FPI. Ini pembangkangan yang sudah terencana,” tegasnya.
Dikatakan Silaen, penegak hukum tidak boleh kalah dengan tindakan premanisme apalagi sampai konfromis, kalau sudah begini jalan ceritanya, polisi sebagai alat negara tidak boleh kendor karena akan dianggap sepele soal panggilan polisi tersebut.
“Apa dan siapa orang ‘kuat’ yang selama ini membackup HRS dalam pelarian dan pembiayaan hidupnya dipengungsian,” sindirnya.
Menurut Silaen, HRS kerap melancarkan ‘serangan’ politik yang bertubi- tubi ke Pemerintah dari tempat pengungsiannya. Secara teori terbukti berhasil apa yang disampaikan berulang- ulang itu, akan dianggap menjadi sebuah kebenaran.
Resiko pemerintah yang tak segera menuntaskan atau menyelesaikan kasus yang dituduhkan kepada HRS selama ini, pembiaran itulah yang dimanfaatkan oleh HRS dengan ormasnya, seolah Pemerintah takut dengan HRS dan tak berdaya menghadapi HRS.
“Karena selama ini HRS dibiarkan menyebarkan hoax terhadap pemerintahan Jokowi, itulah sebabnya HRS seperti besar kepala bahwa penegak hukum tak akan bisa menangkapnya, karena dugaan publik ada orang kuat melindunginya. HRS lupa bahwa dunia politik itu dinamis, kekuasaan politik itu silih berganti, tak ada yang abadi,” papar Silaen.
Pembiaran polisi selama ini, tentu ada alasannya karena adanya intervensi kekuatan politik dan kekuasaan dari oknum tertentu yang sedang berkuasa, sehingga Polisi mem’peties’kan beberapa pelanggaran yang sempat disidik.
Kekuatan intervensi itu, tambah Silaen, tidak terelakkan, karena diduga datangnya dari orang bukan ‘sembarangan’. Hal ini tentu sudah diketahui oleh penegak hukum tapi bisa berbuat apa-apa karena “euh pakeuh’ hingga terjadi pembiaran yang secara terencana.
“Penegakan hukum harus dapat menuntaskan pekerjaan rumah yang selama ini dibiarkan merusak harmoni kebhinekaan, intoleransi sesama anak bangsa yang dilakukan oleh siapapun termasuk HRS. Jangan ada lagi pembiaran karena sekali dibiarkan maka akan berdampak luas dan sistematis kerusakan yang ditimbulkannya,” pungkas Silaen. (Indra)