BERITA JAKARTA – Tim penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) didesak untuk menindaklanjuti dugaan korupsi garam impor terkait masalah Korporasi yang diduga melibatkan PT. Sumatraco Langgeng Makmur (SLM) milik terpidana Sanny Wikodhiono alias Sany Tan dan Yoni.
Pasalnya, sekalipun para terdakwa sudah divonis bersalah, namun hingga kini belum ada satupun perusahaan yang diajukan ke Pengadilan oleh Penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejagung.
“Sesuai dengan UU Pidana Korupsi, penyidik wajib menyertakan Korporasi. Sebab secara hukum pidana korporasi bisa dituntut pertanggungjawaban secara hukum. Kalau tidak diajukan ke Pengadilan saya malah jadi curiga,” ujar Firman Wijaya saat diminta tanggapan soal penyidik Pidsus Kejagung yang tidak menjerat PT. SLM ke meja hijau, Rabu (13/3/2024) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut penilaian Firman, ada tiga kriteria dalam delik korporasi diajukan pidana. Yakni pertama, perbuatan oleh Korporasi tetapi Pengurus Korporasi yang bertanggungjawab. Kedua perbuatan Korporasi yang bertanggungjawab adalah Korporasi saja. Ketiga, adalah Korporasi dan Pengurus.
“Korporasi bisa diajukan pidana. Di satu sisi adalah material person (pelaku perusahaan) dan person (pelaku pribadi),” ujar Prof. Firman Wijaya.
Sebelumnya, Ketua Majelis Hakim Eko Ariyanto dalam amar putusannya menyebutkan selain menguntungkan diri sendiri atau orang lain, terdakwa Muhammad Khayam dan kawan-kawan juga terbukti telah menguntungkan PT. Sumatraco Langgeng Makmur.
“Menyatakan terdakwa Ir Muhammad Khayam MT terbukti bersalah telah memperkaya PT. Sumatraco Langgeng Makmur. Maka untuk itu terdakwa dijatuhkan hukuman pidana selama 2 tahun penjara,” ucap Ketua Majelis Hakim Eko Ariyanto, Rabu 6 Maret 2024 lalu.
Hakim berpandangan hal yang memberatkan yakni terdakwa M Khayam tidak mendukung program pemberantasan tindal pidana korupsi.
“Sedangkam hal yang meringankan terdakwa belum pernah dihukum dan pernah berjasa kepada Pemerintah dengan jabatan terakhir Direktur Jendral Kementerian Perindustrian,” imbuh Hakim Eko Ariyanto.
Atas vonis tersebut, M. Khayam beserta kuasa hukumnya menerima putusan Majelis Hakim. Sedangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Petrus menyatakan pikir-pikir.
Perlu diketahui sebelumnya, JPU Petrus dari Kejaksaan Agung menuntut M. Khayam selama 3 tahun penjara.
Kasus ini berawal saat Kementerian Perindusterian (Kemenperin) dalam rangka memenuhi kebutuhan garam industri di dalam negeri memberikan rekomendasi kepada perusahaan swasta atau importir untuk mengimpor garam industri.
Rekomendasi tersebut dikeluarkan setelah pihak Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) mengajukan permohonan impor garam industri sebagai bahan baku dan bahan penolong bagi sektor industri garam.
“Untuk diketahui importasi garam untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan industri tidak dikenakan bea masuk. Sedang yang dikenakan bea masuk hanya impor garam konsumsi,” ungkap Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana kala itu.
Dia menyebutkan, terkait importasi garam salah satu importir yaitu PT. SLM diketahui mengajukan rencana kebutuhan garam industri tahun 2018 untuk tahun 2019 sebanyak 237,325 ton.
Pengajuan tahun 2019 untuk tahun 2020 sebanyak 231,745 ton, pengajuan tahun 2020 untuk tahun 2021 sebanyak 120,979 ton dan pengajuan tahun 2021 untuk tahun 2022 sebanyak 116,906 ton.
Selanjutnya, kata dia, hasil verifikasi Sucofindo terhadap rencana kebutuhan PT. SLM diupload ke dalam Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) untuk dilakukan evaluasi oleh Ditjen IKFT sesuai Pasal 20 ayat (2) Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 34 Tahun 2018.
“Namun tersangka MK tidak melaksanakan tugas dan fungsinya untuk melakukan evaluasi terhadap hasil verifikasi,” tutur Ketut seraya menyebutkan PT. SLM kemudian menyuap tersangka melalui AIPGI untuk menyetujui rencana kebutuhan dan rekomendasi impor garam PT. SLM.
Dia menyebutkan juga PT. SLM tidak sepenuhnya mendistribusikan garam impor sesuai rencana kebutuhan awal dan justru dijual sebagai garam konsumsi dan juga mengalihkan kepada industri yang seharusnya menggunakan garam lokal.
Sehingga, ungkapnya, menyebabkan banyak garam lokal tidak terserap dan menimbulkan kerugian negara sebesar Rp7,6 miliar lebih serta kerugian perekonomian negara atau kerugian rumah tangga petani garam sebesar Rp89,63 miliar yang merupakan bagian dari total hilangnya laba petani garam nasional sebesar Rp5,31 triliun.
Adapun tersangka M. Khayam dalam kasus impor garam disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (Sofyan)