BERITA JAKARTA – Maraknya oknum mafia hukum pernah dikemukakan Mahfud MD bahwa oknum Pengacara, oknum Jaksa, oknum Polisi dan oknum Hakim sering kali, sudah mengatur hasil persidangan sebelum sidang dimulai, dengan kata lain, sudah terjadi jual beli kasus. Mafia hukum ada dan nyata walau sulit dibuktikan.
Kepada awak media, LQ Indonesia Law Firm dalam keterangan persnya menduga bahwa persidangan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya juga sudah masuk angin dikarenakan ada beberapa kejanggalan. Pertama, Kejaksaan yang tiba-tiba mengumumkan kerugian akibat kasus KSP Indosurya dari Rp16 triliun menjadi Rp106 triliun.
“Tidak ada dasarnya sama sekali, apalagi dalam berkas perkara penyidikan dan P-19 Kejaksaan, ditulis dan dinyatakan kerugian sebesar Rp16 triliun. Dampak penggelembungan nilai kerugian, adalah nantinya jika aset sitaan dikembalikan maka porsi korban lebih kecil karena dibagi Rp16 triliun, bukan Rp106 triliun,” jelas LQ, Rabu (28/12/2022).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kedua, adalah sidang yang diadakan secara online. Dalam kasus sebesar dan seviral KSP Indosurya, sidang diadakan online sangat tidak maksimal, apalagi Covid-19, sudah bukan merupakan ancaman.
Perlakuan istimewa ini, tentunya ada, karena persetujuan Jaksa. Jika Jaksa menolak seharusnya meminta secara resmi dari awal sidang, namun tidak dilakukan Kejaksaan.
Ketiga adalah tempat penahanan Henry Surya yang dipindahkan dari Rutan Salemba ke Rutan Kejaksaan Agung.
“Untuk apa penahanan dipindahkan dari Rutan ke Kejaksaan Agung? Tentunya ada sebagian masyarakat menduga agar memudahkan koordinasi dari Henry Surya, apakah masuk angin Kejaksaan,” tulis LQ lagi.
Keempat, adalah aset sitaan hasil kejahatan yang tidak dikembalikan kepada korban. Hakim yang menolak semua permohonan ganti rugi aset sitaan.
“Ini sangat janggal, jika aset kejahatan ditolak untuk dikembalikan ke para korban. Pengajuan ganti rugi dari beberapa Law Firm, termasuk Febri Diansyah dari Visi Law Firm senilai Rp1,8 triliun dan pengajuan LPSK, semua ditolak Hakim. Ini kesewenangan Hakim yang dipertontonkan dimuka umum,” jelas LQ.
Kelima, adalah adanya dugaan sandiwara dimana Jaksa seolah-olah memihak korban dan Hakim menolak hak korban.
“Strategi disebut “good cops dan bad cops” adalah hal biasa sandiwara dimainkan oleh oknum mafia hukum, agar terlihat sidang berjalan sebagaimana mestinya ada konflik, padahal hasil akhir sudah dijual belikan. Ini modus biasa dalam persidangan yang sudah dikondisikan,” ulas LQ.
Dikatakan LQ, jangan percaya pada oknum Jaksa yang pura-pura baik, karena jika sudah terjadi jual beli kasus, jalan masuk untuk menyuap Hakim sering kali melalui oknum Jaksa. Ingat sebelumnya oknum Jaksa dalam kasus KSP Indosurya membuat modus P-19 mati.
“Juga oknum Jaksa yang pura-pura marah kepada Hakim, karena tidak diijinkan sidang offline. Jika benar-benar memperjuangkan, seharusnya pihak Kejaksaan membuat aduan resmi ke KY atau Bawas MA, tentang tindakan Hakim, bukan cuma bacot murahan,” sindir LQ.
Keenam adalah pengusiran korban yang menyampaikan aspirasi. Ini sangat tidak patut dan sudah melanggar Kode Etik Hakim.
“Hakim tidak bisa membedakan antara menyampaikan aspirasi pihak terkait dengan menganggu jalannya persidangan. Sebagai korban, mereka adalah pihak berkepentingan yang patut didengarkan suara dan keterangannya dipersidangan, bukan malah diusir dan dibilang mengganggu jalannya siding,” ungkap LQ.
Pengusiran korban KSP Indosurya oleh Hakim sudah tidak wajar, apalagi tidak ada kerusuhan. Juga Jaksa sebagai pengacara korban tidak ada sedikitpun membela korban dan menjelaskan ke Hakim dan meminta agar persidangan mendengarkan suara korban yang namanya tidak tercantum dalam berkas perkara.
“Itulah makanya kami duga persidangan sudah masuk angin dan persidangan tidak akan memberikan keadilan kepada para korban. Apalagi dari awal Kejaksaan sudah menyusun dakwaan Henry Surya dengan pasal pidana pokoknya alternatif, sehingga memberikan peluang oknum Hakim memilih dakwaan dengan ancaman minimal,” ungkap LQ lagi.
Ingat dalam kasus Donny Salamanan, Jaksa menuntut 13 tahun tapi Hakim memvonis 4 tahun, karena Hakim punya kewenangan untuk memilih yang menurut dia terbukti. Namun, Jaksalah yang membuka pintu kelemahan dan memberikan kesempatan bisa mendapat vonis ringan. Ini strategi tingat dewa yang hanya lawyer cerdas bisa membacanya.
Ditanyakan solusinya, LQ Indonesia Law Firm menjawab ketika keadilan tidak bisa di berikan pengadilan, maka jalan satu-satunya adalah mobilisasi massa.
“Kepada oknum Jaksa dan oknum Hakim yang kerap jual beli keadilan, jika aparat Pemerintah tidak mau membenahi, maka seluruh ribuan korban KSP Indosurya harus bersatu, lawan ketidakadilan. Jangan terpecah, mobilisasi massa adalah solusi terampuh. People power,” tutupnya. (Sofyan)
Komentar tentang kasus Indosurya ini di tayangkan di Chanel Quotient Tv: