BERITA JAKARTA – Perilaku jahat para oknum pejabat Perbankan milik Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang kini tengah berproses di Pengadilan Tipikor Jakarta terkait pemberian kredit fiktif, menunjukan lemahnya kinerja pengawasan Perbankan di Indonesia, sehingga negara berpotensi mengalami kerugian hingga ratusan miliar.
Padahal, lazimnya dalam skema pemberian kredit kerja kepada perusahaan, manajemen Perbankan memiliki regulasi yang cukup ketat. Selain itu manajemen Perbankan juga mempunyai petugas pengawas yakni tim audit internal maupun lembaga pengawasan Perbankan semisal Otorisasi Jasa Keuangan (OJK).
Akan tetapi entah mengapa “kisah klasik” pemberian kredit fiktif tersebut kerap berulang. Ibarat pepatah hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lihat saja kasus yang kini membelit dua oknum mantan pimpinan Bank DKI Cabang Pembantu (Capem) Muara Angke Jakarta Utara dan Capem Permata Hijau Jakarta Selatan.
Keduanya diduga terlibat kasus pemberian Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) tunai bertahap oleh Bank DKI Capem Muara Angke dan Bank DKI Capem Permata Hijau kepada PT. Broadbiz Tahun 2011-2017 dan mengakibatkan negara mengalami kerugian sebesar Rp39 miliar lebih.
Kemudian, kasus Bank Jatim, dua oknum pejabat telah didakwa Penuntut Umum di Pengadilan Tipikor Jakarta. Mereka diduga menerima uang (kick back) dari penerbitan Bank Garansi Jaminan Uang Muka Bank Jatim yang menyalahi ketentuan, lebih dari Rp2,6 miliar.
Keduanya berinisial HPS dan LK. HPS selaku Pimpinan Bank Jatim Cabang Jakarta Tahun 2018-2019 dan LK selaku Pimpinan Capem Bank Jatim Cabang Kelapa Gading Tahun 2018-2019.
Perkara ini muncul, karena dalam penerbitan Bank Garansi atas nama PT. Duta Cipta Pakarperkasa di Bank Jatim Cabang Jakarta yang diajukan oleh K tidak sesuai ketentuan.
Selanjutnya, perkara dugaan korupsi pemberian kredit proyek di Bank Jateng Cabang Jakarta. Duduk sebagai terdakwa eks bos Bank Jateng Cabang Jakarta bernama Bina Mardjani.
Diduga, Bina Mardjani berperan merekayasa kontrak kerja proyek sebagai dasar pengajuan kredit proyek di Bank Jateng Cabang Jakarta. Tidak hanya itu, BS juga memberikan uang imbal jasa kepada Bina Mardjani sebanyak 3 kali sebesar Rp1,6 miliar.
Terakhir kasus dugaan kredit macet senilai Rp58 miliar di Bank Banten yang terjadi tahun 2017-2018 oleh debitur atau peminjam PT. HNM sampai diangka Rp65 miliar dengan bunga dan denda. Pokoknya hanya Rp58 miliar.
Menurut pakar Perbankan yang enggan diketahui identitasnya, mengatakan semua manajemen Perbankan memiliki Standar Opersional Prosedur (SOP) penyaluran kredit.
Disamping itu, pihak Perbankan juga mempunyai tim auditor internal yang berfungsi melakukan pemeriksaan keuangan Perbankan secara berjenjang dan lembaga Otorisasi Jasa Keuangan (OJK).
“Kalau pemahaman kredit fiktif itu pada dasarnya data yang digunakan merupakan nasabah fiktif. Kemudian untuk memperlancar urusan, oknum pejabat bank beserta mafia diberikan komisi,” ucap dia melalui pesan singkat, Selasa (24/5/2022).
Dia mengungkapkan praktik jahat kredit fiktif tersebut merupakan hal yang “jamak” dikalangan Perbankan.
“Nah ketahuannya ada kredit macet, kalau sudah macet. Kalau lancar-lancar saja proses pembauatannya pasti aman,” terangnya.
Menurutnya yang mengetahui lika-liku praktik kotor di bank milik Pemerintah Daerah maupun bank milik negara adalah oknum bank tersebut.
“Makanya disini peran auditor internalnya harus bekerja ekstra dan melakukan check and richeck di lapangan,” pungkas. (Sofyan)