BERITA JAKARTA – Indonesia rusak bukan karena dari luar tapi dari dalam, karena dominannya kepentingan pragmatisme yang ber’selingkuh’ antara eksekutif dengan kekuatan politik. Revisi UU Pemilu yang ada, tidak ada jaminan akan lebih baik dari yang ada saat ini. Hal tersebut dikatakan, pengamat politik Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (LAKSAMANA), Samuel F. Silaen.
“Nada- nada sumbang dan tak sedap berembus kencang dari Senayan, wacana rencana revisi UU Pemilu. Tak dapat dipungkiri bahwa rencana revisi UU pemilu ini dipastikan sarat dengan muatan kepentingan pragmatis yang jauh dari kepentingan rakyat,” kata Silaen kepada Matafakta.com, Rabu (27/1/2021).
Dan patut diduga, sambung Silaen, ini hanya untuk kepentingan segelintir elite parpol yang ingin dapat ‘setoran’ dari para kontestan yang akan akan mau maju dan akan kembali maju (Petahana),” sindirnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dikatakan Silaen, menyimak pandangan Ketua Umum (Ketum) Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan bahwa rencana revisi UU Pemilu ini belum diperlukan, karena UU Pemilu belum lama di revisi.
“Pandangan Zulhas ini, tentu saja punya korelasi kekinian dengan keadaan bangsa yang belum sepenuhnya pulih dari dampak Covid-19. Wacana penyelenggaraan Pilkada ditahun 2022 dan 2023 itu tak lepas dari kejar ‘setoran’ dari para kontestan yang akan turun ‘gelanggang’ perebutan kursi kepala daerah,” sindir Silaen lagi.
Menurut Silaen, Pemerintah harus menolak tegas rencana revisi UU Pemilu yang belum lama direvisi tersebut. Jadi rencana penggabungan Pilkada dengan pelaksanaan Pilpres bagian dari penyederhanaan Pemilu agar efesien dan menghemat anggaran.
Uji coba Pilkada 2020 tergolong berjalan mulus meski dilakukan ditengah pandemik Covid-19. Kebijakan Pemerintah yang tadinya diragukan oleh berbagai kalangan akan jadi cluster penyebaran Covid-19 tak sepenuhnya terbukti, wacana untuk menunda sampai wabah Covid-19 melandai tak menyurutkan langkah Pemerintah atas melaksanakan keputusan yang sudah diambil tersebut.
“Jadi kalau karena banyak Kepala Daerah yang akan di PLT atau PJS kan tak sepenuhnya buruk demi langkah perbaikan untuk jangka panjang yang komprehensif. Jadi rencana akan ada Pilkada 2022 dan 2023 itu sama saja tidak mau memperbaiki bangsa ini kearah yang lebih efisien dan sederhana,” imbuhnya.
Jangan karena ingin memuaskan hasrat politik elektoral parpol, maka revisi UU Pemilu dipaksakan dan itu akan menodai rencana Pemerintah yang ingin menyatukan Pilkada serentak bersamaan dengan Pilpres 2024 terancam gagal dan berantakan.
“Alih-alih ingin memperbaiki eh malah punya ide dan gagasan untuk kembali ke sistem Pilkada sebelumnya,” kritik Silaen.
Pilkada serentak, tambah Silaen, dilaksanakan agar bangsa ini tidak repot berkali-kali setiap tahun ada Pilkada yang menguras emosi publik dan pemborosan anggaran negara. Rencana revisi UU Pemilu sarat dengan muatan kepentingan pragmatisme parpol dan bukan kepentingan rakyat Indonesia.
“Pemerintah dengan gagasannya dalam melakukan penataan dan perbaikan yang lebih baik jangan sampai mundur dalam menata sistem kepemiluan yang sederhana dan efisien. Mengembalikan pelaksanaan Pilkada kepada model yang lama sama saja melanggengkan cara dan sistem yang usang. Semoga Pilkada serentak berikutnya yang akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilpres terlaksana dengan baik,” pungkasnya. (Indra)