BERITA JAKARTA – Pasca bergabungnya Ketum Gerindra Prabowo Subianto (PS) yang juga mantan Capres pada Pilpres 2019 jilid II berhadapan kembali dengan Joko Widodo (Jokowi) yang juga Petahana. Namun Prabowo Subianto belum beruntung. Oleh karena, kompromi politik maka sang Capres diajak bergabung di Kabinet Indonesia Maju.
“Kini, sosok Gatot Nurmantyo (GN) menyandang simbol perlawanan yang disematkan kelompok tertentu yang selama ini disandang oleh Menteri Pertahanan RI Kabinet Jilid II Jokowi – Mar’uf,” ujar pengamat politik Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (LAKSAMANA), Samuel F. Silaen kepada Matafakta.com, Jumat (9/10/2020).
Dikatakan Silaen, tidak ada ada yang salah dengan langkah politik GN tersebut, dalam kaca mata pengamat politik itu sah- sah saja, GN seperti memperoleh suntikan ‘darah segar’ untuk zig- zag memainkan bidak catur permainannya, menyongsong tarung bebas 2024. Banyak elite yang berada di lingkaran istana sedikit terganggu dengan pergerakan GN dikancah perpolitikan nasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Cara yang digunakan GN bersama Ormas KAMI bukan cara baru tapi repackaging dari pola politik yang selama ini ada di sosok PS saat berada diluar kekuasaan. Kini PS sudah bagian dari Pemerintah, tentu tidak bisa lagi sama seperti diluar Pemerintah. Hal ini terkait dengan etika pemerintahan yang baik dan beradab,” jelas Silaen.
Menurut Silaen, GN saat ini selain punya amunisi dan momentum yang tepat untuk digunakan berselancar demi memperoleh dukungan dan simpati rakyat untuk membangun fondasi pergerakan diberbagai daerah. Pro- kontra itu hal biasa, yang tak dapat dihindarkan didalam dunia politik praktis.
Daya tahan GN dan Ormas KAMI lah yang menentukan langkah- langkah berikutnya, jika Ormas KAMI tidak pandai – pandai berselancar maka tak tertutup kemungkinan akan jadi penghambat laju penetrasi GN mendapat simpati publik diakar rumput.
“Publik tentu akan terbelah sama seperti waktu Prabowo Subianto berada diluar gelanggang kekuasaan, pola perebutan kekuasaan politik dinegeri ini, hampir sama saja, hanya personal yang menjadi simbol saja yang beda. Hal itu tidak lepas dari oli dan BBM yang digunakan untuk bergerak, artinya siapa bohirnya, begitu,” papar Silaen.
Tentulah yang keluarkan biaya punya kepentingan langsung atau tidak langsung didalam menempatkan orang – orangnya kelak setelah berhasil mencapai tujuan. GN dijadikan simbol perlawanan bagian dari simbiosis mutualisme perjuangan dalam merebut kekuasaan.
“Ormas KAMI dibentuk hanya alat bukan tujuan, alat untuk perjuangan, pola ini banyak kita temui ketika parpol belum muncul maka diawali pembentukan ormas sebagai alat komunikasi kepada masyarakat, elite dll,” ungkap Silaen.
Jika ada yang kebakaran jenggot didalam kemunculan Ormas KAMI itu, karena ada semacam ketakutan minimal terganggu bagi elite tertentu sebab terjadi kehilangan daya pikat dan pamor dengan kehadiran GN. Jika langkah bidak catur yang dimainkan oleh GN tak diantisipasi oleh parpol- parpol yang punya calon – calon yang akan diusung pada Pilpres 2024 nanti tak akan laku.
“Jika Parpol atau gabungan parpol punya calon – calon yang akan diusung pada Pilpres 2024 baiknya mesin sudah dinyalakan meskipun belum di gas, yang penting mesin politik sudah di on kan, jadi jangan kelamaan padam, buzzea Rp dilawan dengan sentuhan atau turun langsung kepada rakyat kecil (wong cilik),” pungkas Silaen. (Indra)